Friday, February 26, 2021

Gangguan Mental: Musuh Tak Kasat Mata di Dunia Kerja



Bekerja sampai larut malam dan di akhir pekan.

Masih membalas dan mengecek pesan soal pekerjaan, walau sudah bersama keluarga di rumah.

Merasa letih dan menunjukkan tanda-tanda depresi, tapi tidak bisa ambil cuti atau istirahat karena tekanan tanggung jawab yang dibebankan kantor.

Saat ini, fenomena-fenomena tersebut sudah bukan hal aneh lagi di kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan. Pasca tahun 2000, teknologi internet, pesan instan, dan komunikasi jarak jauh yang kian mudah memang membuat kehidupan terkesan lebih praktis. Namun, terdapat dampak berbahaya di baliknya, khususnya bagi pelaku dunia kerja. Siklus produksi menjadi lebih cepat, dan batas antara ranah pribadi dan ranah profesional pun kian mengabur. Pekerjaan senantiasa membuntuti karyawan bahkan setelah ia pulang ke rumah dari kantor, karena kini atasan, rekan kerja, maupun klien bisa menghubunginya di mana pun dan kapan pun mereka merasa perlu.

Dengan ditambah tekanan untuk menghidupi keluarga, memenuhi tenggat waktu, atau menjaga hubungan baik dengan kolega, tidak heran makin banyak karyawan yang mengalami gangguan mental. Menurut perwakilan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), Nuri Purwito Adi, pada 2017, sebesar 60,6% pekerja industri kecil menengah di Indonesia mengalami depresi, sedangkan 57,6% mengidap insomnia. Depresi sendiri dapat berbuntut ke masalah kesehatan fisik, atau ketidakharmonisan hingga bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini jelas meresahkan, ditambah lagi kesadaran masyarakat Indonesia khususnya di dunia kerja yang masih tergolong rendah terhadap isu kesehatan mental.


Manajemen dan Rekan Kerja Sebagai Pelindung Kesehatan Mental

Tentunya, setiap manusia punya tanggung jawab untuk menjaga kesehatannya sendiri, termasuk kesehatan mental. Namun, patut diingat bahwa banyak faktor yang membuat karyawan memilih untuk menahan atau menyembunyikan gangguan mentalnya. Faktor itu bisa berupa tekanan finansial, tuntutan berlebihan dari atasan atau kantor, rasa takut akan stigma negatif terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental, maupun kurangnya alternatif tempat kerja lain yang lebih akomodatif bagi kesehatan mental si karyawan.

Dalam budaya kantor di Indonesia pun, masih sedikit karyawan yang menyadari bahwa mereka bisa memperoleh surat izin tidak bekerja dari psikiater, seperti halnya saat mereka mengalami gangguan kesehatan fisik. Di sisi lain, pemberi kerja pun tidak bisa sewenang-wenang memanfaatkan karyawan di atas batas kewajaran, atau acuh membiarkan karyawan bekerja dengan cara yang berisiko menyebabkan gangguan mental. Hal ini bisa berupa pemaksaan lembur di luar jam kerja normal, atau dalam bentuk yang lebih halus, penciptaan budaya kerja yang membuat karyawan selalu mendahulukan pekerjaan dibanding kesehatan mentalnya sendiri.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia pasal 35 ayat 3, pemberi kerja diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan kata lain, pemberi tenaga kerja wajib memastikan bahwa ia sudah menyediakan lingkungan kerja yang sehat bagi karyawan, termasuk dari aspek mental. Hal ini terwujud dari terciptanya budaya kerja yang sehat dan tidak membebani kondisi mental karyawan hingga melampaui batas.



Budaya kerja yang sehat tidak akan terwujud bila pemberi kerja mengedepankan profit semata, dan menerapkan jam kerja yang amat mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi karyawan maupun di kantor. Pada kenyataannya, mayoritas waktu tenaga kerja usia produktif sudah akan terpakai untuk bekerja dari Senin sampai Jumat, sehingga seharusnya waktu di luar jam kerja normal itu bisa mereka nikmati tanpa gangguan pekerjaan. Empati harus ditanamkan dalam diri setiap karyawan untuk berusaha tidak mengganggu rekannya pada jam istirahat mereka, kecuali dalam situasi yang benar-benar darurat.

Dalam hubungan dengan pihak ketiga berupa klien, manajemen suatu usaha perlu tegas menginformasikan rentang jam kerja mereka sendiri sehingga tidak ada pemaksaan dari salah satu pihak untuk mengikuti jam kerja yang lainnya. Hal ini seringkali terlupakan, karena prioritas yang lebih mengedepankan hubungan baik dengan pihak ketiga alih-alih kondisi karyawan sendiri. Padahal, apabila karyawan bekerja dalam kondisi mental yang tidak prima, pemberi kerja sendiri yang akan rugi karena hasil kerja karyawan tersebut tidak akan optimal atau karyawan tersebut ujungnya beralih ke pekerjaan lain karena tidak merasa betah.

Penyusunan kebijakan manajemen, khususnya departemen Sumber Daya Manusia (SDM), harus mampu mengidentifikasi aspek kebutuhan psikis karyawan yang tidak bisa juga dipukul rata. Setiap manusia punya karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga manajemen tidak bisa berasumsi bahwa satu kebijakan saja sudah pasti membawa dampak positif bagi semua karyawan. Jangan memaksakan kegiatan outing atau jalan-jalan bersama untuk semua karyawan, misalnya, karena bisa saja ada orang yang hanya ingin istirahat atau enggan kalau waktu bersama keluarga yang sudah sedikit jadi makin berkurang.

Manajemen bisa mendengarkan curahan hati dan keluh kesah karyawan melalui sebuah forum internal terbuka. Namun, yang lebih penting adalah adanya rasa perhatian secara tulus yang tercermin dari tindakan sehari-hari. Divisi SDM bisa mengingatkan karyawan bahwa mereka punya jatah cuti yang belum terpakai, misalnya. Saat mengirim karyawan untuk tugas lapangan, kantor bisa mengambil langkah-langkah sebelumnya untuk memastikan kesehatan dan keamanan karyawan tersebut sebelum bertugas. Alih-alih saling menyalahkan, sesama rekan kerja patutnya membiasakan diri untuk memberi kritik konstruktif dan menyelesaikan masalah dengan tidak terbawa emosi.

Pada akhirnya, semua kembali ke budaya tempat kerja. Begitu banyak orang usia produktif yang lebih sering berinteraksi dengan rekan kerja mereka dibanding dengan keluarga atau teman-teman mereka sendiri. Jika hal ini memang tidak bisa dihindari, paling tidak usahakanlah agar interaksi tersebut berjalan secara sehat dan positif. Ingat, manusia bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

No comments:

Post a Comment