Saturday, February 20, 2021

Tantangan Film 2021 #2: Sand Storm

Sekitar satu dekade lalu, saya mulai tertarik pada dunia film di luar ranah lokal atau Hollywood, alias film-film dari berbagai negara yang biasanya nggak ditayangkan di bioskop (bahasa kerennya: ‘world cinema’). Menarik rasanya melihat refleksi kehidupan orang-orang dengan kultur, bahasa, dan filosofi yang berbeda dengan yang biasanya saya lihat sehari-hari. Pada waktu itu pun, saya jadi punya aspirasi untuk menonton film-film dari sebanyak mungkin negara yang berbeda…. anggap saja ini cara realistis dan hemat untuk keliling dunia, hahaha.

Kini, nonton film-film seperti itu jadi lebih mudah berkat berbagai pilihan streaming yang menawarkan judul dari beragam festival film internasional, nggak perlu lagi mondar-mandir cari tempat download esek-esek. Jadi saya pun kembali ‘keliling dunia’ dengan sekalian memenuhi salah satu tema dari tantangan film tahun ini: film dari negara yang belum pernah saya tonton. Untuk kategori ini, pilihan saya jatuh pada Sand Storm, film Israel pemenang penghargaan di Sundance Festival tahun 2016. 


Sand Storm (2016)

Sutradara & Penulis Naskah: Elite Zexer
Durasi: 87 menit
Pemain: Lamis Ammar, Ruba Blal, Hitham Omari, Khadija Al Akel
Staf Kunci: Shai Peleg (sinematografi); Nir Adler (penata artistik); Ronit Porat (editing)
Distributor: Pyramide Distribution (bisa ditonton di website Netflix)

Film besutan sutradara berkebangsaan Israel, Elite Zexer, ini menariknya tidak mengambil latar di kota besar Israel seperti Tel Aviv atau Haifa. Alih-alih, Sand Storm mengangkat kehidupan orang-orang Bedouin di kawasan padang pasir Negev, penganut Islam yang sehari-hari berbahasa Arab. 'Badai pasir' yang dimaksud judul filmnya bukan semata mengacu kepada lautan pasir di kawasan tersebut, melainkan pada konflik rumah tangga antara Layla (diperankan oleh Lamis Ammar), putri sulung yang hendak dijodohkan walau ia sudah punya pacar pilihan sendiri; Suliman (Hitham Omari), sang ayah yang mempraktikkan poligami dan baru saja menikahi istri kedua; serta Jalila (Ruba Blal), ibu Layla dan istri pertama Suliman. 

Saya sudah beberapa kali menonton film progresif dari negara/komunitas Muslim yang menampilkan perempuan sebagai tokoh utamanya, antara lain The Day I Became A Woman (Iran 2000), Offside (Iran 2006), dan Wadjda (Arab Saudi 2012). Semua judul tersebut bagus dan banyak membahas konstruksi sosial & gender secara elegan. Sand Storm juga demikian, dengan gaya penuturan cerita yang naturalis apa adanya; tidak mengkritik secara membabi buta, tapi juga tidak menutup mata terhadap isu-isu problematis yang muncul dari realita sosial pada latarnya. 


Para tokoh perempuannya jelas memegang peranan paling penting dalam film ini. Lammis Ammar dan Ruba Blal sama-sama menampilkan akting solid sebagai ibu dan anak yang bisa dibilang terus cekcok sepanjang film. Ini bukan film yang terang-terangan memberitahu penonton tentang isi pikiran dan perasaan para karakternya (dialognya bukan model "Bu kenapa nggak pernah ngertiin aku, aku itu gini gini gini...."), jadi para pemainnya harus bisa menyampaikan penokohan dengan cara yang wajar tapi efektif. Menurut saya, mereka berhasil mencapai itu melalui gerak-gerik, ekspresi, dan intonasi dialog yang kuat. 

Walau salah satu konflik utamanya adalah hubungan asmara yang tidak direstui, filmnya jauh lebih fokus ke soal hubungan orangtua-anak daripada percintaan. Ini tentang anak gadis yang ngotot mendapatkan apa yang ia inginkan, dan ibu yang lebih berpengalaman tetapi sudah letih mental dan emosional. Menariknya, sosok si ayah yang berpoligami tidak serta merta dijadikan sebagai antagonis. Ada kontradiksi yang menarik pada dirinya: ia mengajari anak perempuannya menyetir mobil dan menyekolahkannya sampai kuliah, tapi di sisi lain ia juga berpoligami dan menjodohkan si anak dengan anak laki-laki dari orang berpengaruh di komunitas mereka. Ada kesan bahwa itu juga bukan kehendak hati nuraninya, tetapi ia tidak punya cukup keberanian atau keyakinan untuk menentang konstruksi sosial yang jelas-jelas membebani keluarganya secara emosional maupun finansial. 


Sebagai film feature debut dari Elite Zexer (sebelumnya ia menyutradarai film pendek dan dokumenter), kualitas Sand Storm sudah diakui melalui penghargaan internasional seperti Festival Sundance dan Ophir Award Entah apa yang ada di pikiran orangtua si sutrada ini saat memberi nama 'Elite', tapi pada kenyataannya prestasinya memang... ehm, elite. Dengan ditopang sinematografi padang pasir yang terlihat indah sekaligus 'hampa' serta tata busana ciamik, ia dan krunya mampu menyajikan potret konflik keluarga yang sederhana tapi efektif. Ada seni tersendiri pada koreografi dan aliran dialog pada sejumlah adegan, seperti momen saat Layla berusaha 'mendiamkan' pacarnya dari sang ibu di tengah jemuran baju (yang kemudian dijadikan imej poster film ini).

Dari segi budaya, ada perspektif dan wawasan baru yang saya dapat tentang masyarakat Bedouin Negev, yang rupanya merupakan salah satu kelompok minoritas marginal di negara Israel. Filmnya tidak mengangkat aspek geopolitik atau tensi etnis dengan pemerintah/kelompok masyarakat lainnya, namun terdapat potret budaya yang tajam terhadap konstruksi dan adat lokal Bedouin yang amat berorientasi patriarki. Ada detail menarik saat Jalila sebagai istri pertama memakai kumis palsu dan semacam cosplay ala lelaki, dalam bagian dari ritual seremoni pernikahan suaminya sendiri dengan istri baru... suatu momen yang terasa absurd dan ironis.    


Begitulah, konflik awal filmnya bertema "pacarku nggak direstui orangtua", tapi dengan eksekusi dan ending yang menekankan bahwa 'Hidup Tak Seindah Ending FTV/Hollywood/Drakor'. Terlepas dari itu, ada keindahan tersendiri dari pemahaman yang akhirnya tercapai dari anak perempuan yang awalnya naif dengan ibu yang sudah getir oleh asam garam kehidupan, dan bahwa selalu ada harapan untuk menemukan kepuasan tersendiri dalam belenggu konstruksi sosial. Yang jelas, saya jadi ingat untuk bersyukur bahwa saya cukup punya kebebasan menikahi siapa pun yang memang saling suka (atau sekalian tidak usah menikah kalau memang tidak mau :v). 

No comments:

Post a Comment