Wednesday, December 17, 2014

Seorang Sahabat Lama: Lupus & Drama/Komedi Remaja



 Coba tanya remaja urban generasi akhir 1980-an atau 1990-an, siapa yang nggak kenal Lupus? Sosok berjambul ajaib ini memang sempat jadi ikon sewaktu generasi itu lewat sejumlah buku karangan Hilman, serial televisi dan film. Karakter Lupus yang khas, gaya penceritaan Hilman yang jenaka dan sangat lepas, serta segala kisah petualangan Lupus dengan teman-temannya yang tidak kalah aneh bin ajaibnya juga turut mewarnai masa kecil saya.

Ya, saya punya banyak kenangan tentang Lupus.

Walaupun  saya pertama kali menemukan Lupus (tepatnya lewat buku Tragedi Sinemata punya kakak saya yang saya temukan teronggok di kamarnya) sewaktu masih SD, tapi entah kenapa kisahnya itu bisa langsung 'nyambung' dengan saya. Saya dulu sering dibuat ngakak oleh tebak-tebakan konyol Lupus, dipaksa berpikir memaknai pengalaman Lupus yang kadang tidak sesimpel  kelihatannya, dan dibuat berkhayal membayangkan masa SMA yang sepertinya begitu sarat suka duka. Saya pun merasakan pengalaman SMA, dan walaupun mungkin tidak segila dan seseru Lupus dan kawan-kawan, tapi saya juga merasakan nikmatnya bercanda dengan teman-teman sece-es, nyomotin gorengan di kantin, gigit jari waktu ongkos angkot naik, dan menaiki roller-coaster cinta monyet. Di situlah kehandalan Hilman, yang benar-benar bisa memotret segala tetek-bengek kehidupan anak SMA ibu kota di zaman itu dan menyelipkan sesuatu yang 'lebih' di dalamnya.

Apa sih misalnya, yang membuat Lupus begitu populer? Padahal dia tokoh fiktif yang jauh dari kata sempurna; ia bukan siswa paling cerdas dan berbakat di sekolah, ataupun sosok pemberontak maskulin seperti tokoh-tokoh utama beberapa novel remaja di generasi yang sama. Tidak, ia hanya seorang siswa SMA biasa yang tak pernah jauh dari kesederhanaan. Ada satu cerita yang saya ingat tentang Anto, seorang teman Lupus yang begitu penasaran kenapa Lupus bisa begitu populer dan disenangi teman-temannya di sekolah. Akhirnya, ia pun meniru gaya Lupus yang cuek bebek, hobinya fotografi, dan segala ciri khasnya, karena ia pikir hal-hal itulah yang membuat Lupus ngetop. Namun, lama-kelamaan barulah ia sadar: Lupus bisa menjadi seorang Lupus karena ia begitu jujur dan apa adanya, karena memang ia tak pernah memaksa diri menjadi seseoran yang bukan dirinya sendiri.

Itu hanya salah satu dari sekian banyak pelajaran hidup yang saya dapat dari cerita Lupus.

Pada dasarnya, menulis komedi itu susah. Masing-masing orang punya selera humor yang berbeda-beda; apa yang bagi satu orang lucu bisa jadi garing buat orang lain. Teman saya mungkin bisa tertawa terjengking-jengking sewaktu menonton acara stand-up comedy, sementara saya hanya bengong dengan alis diangkat. Tapi, Lupus itu spesial karena Hilman memadukan komedinya dengan berbagai momen serius yang sejenak membuat kita terdiam dan merenung. Hilman bukan hanya sekedar membanyol atau bercerita lewat Lupus, tapi menyampaikan nilai-nilai kehidupan mengenai persahabatan, keluarga, sekolah, romansa dan impian masa muda yang dikemas dengan begitu apik tanpa ada kesan menggurui.

Betapa berat tugas seorang pemberi harapan, kalau ia tidak bisa mewujudkan harapan itu kepada orang yang diberi harapan. (Tragedi Sinemata, saat Lupus harus menyampaikan kepada teman-temannya bahwa mereka tidak jadi tampil sebagai pemeran pembantu dalam sebuah film, setelah sebelumnya sempat berada di awang-awang)

"Saya sering merasakan betapa pedihnya hati saya melihat orang lain makan roti seenaknya di depan saya. Sementara saya begitu kelaparan. Tapi mereka nggak peduli. Mereka nggak mau memberikan sebagian rotinya untuk saya yang kelaparan. Saya memang orang miskin yang selalu kelaparan, sejak saya nggak boleh jualan koran lagi. Sekarang, apa saya salah membalas sikap mereka yang tak pernah peduli pada saya?" (Anak Kecil yang Selalu Lapar, saat Lupus bertemu dengan seorang anak kecil yang sengaja makan roti di depan orang-orang yang sedang berpuasa dalam rangka memprovokasi mereka)

"Kamu tak bisa memilikinya untuk selama-lamanya. Dan sebetulnya, itulah kehidupan, Pus. Untuk mendapatkan seteguk kenikmatan, kita kadang harus berjuang keras dan lama sekali. Setelah kenikmatan itu kita reguk, kita pun harus memulai dari bawah lagi. Mengulangi perjuangan yang sama. Begitu seterusnya." (Ayam-ayam Arisan, saat Ibu Lupus menghibur anaknya yang gundah setelah ayam-ayam kesayangannya mati satu-persatu akibat wabah penyakit)

"Kadang saya iri sama kamu, Pus. Kamu enak. Bebas mau pergi-pergi, mau nginep-nginep, tanpa harus repot-repot izin dulu. Kamu begitu bebas. Nggak pernah dicariin Ibu. Kalo saya? Ngilang sebentar aja, udah dicariin."

"Ah, manusia memang aneh. Serba nggak puas. Dicariin salah, nggak dicariin juga salah. Saya justru suka ngiri sama kamu, Lu. Kamu begitu diperhatiin. Apa kamu pikir saya nggak sedih, nggak pernah dicariin?" (Lulu Belum Pulang, dialog kakak-adik saat Lupus dan Lulu mencuci rantang bersama). 

Lupus tak pernah mengerti, kenapa ada orang yang tak menghargai apa yang dimilikinya, sedang orang lain begitu ingin memilikinya. (Ekspedisi Merah Putih, saat Lupus bercengkrama dengan mantan pacarnya Poppi).

Dan masih banyak lagi. Lupus memang tidak ada duanya; saya sempat coba membaca Kambing Jantan, serial remaja yang popularitasnya kini bisa disejajarkan dengan Lupus dulu, dengan harapan bisa menemukan pengganti sosok Lupus. Sayangnya, ceritanya kurang "masuk" untuk saya. Mungkin karena temanya melulu berkisar kisah percintaan dan tidak seluas Lupus, mungkin karena tidak ada balance antara bagian komedi dan drama, atau mungkin pada dasarnya bukan selera saya. Tidak masalah, mungkin seperti saya yang tumbuh dan menemukan diri saya pada Lupus dan kawan-kawannnya, remaja dan anak muda generasi kini pun menemukan jati diri mereka pada Kambing Jantan.

Tempo hari, saya menemukan cetakan ulang kisah-kisah Lupus. Harus diakui, ada sedikit perasaan waswas saat saya memutuskan membelinya. Apa saya masih bisa "nyambung" dengan cerita-cerita Lupus, yang notabene banyak aspek di dalamnya yang sudah ketinggalan zaman? Apa saya masih bisa dibuat tertawa dan terharu?

Ternyata, ia masih sama seperti dulu.