Friday, January 16, 2015

Adventure in Interpreting


 
Kurang-lebih setahun yang lalu, saya diinformasikan seorang kenalan bahwa sebuah perusahaan bahan konstruksi bangunan dari Prancis tengah mencari penerjemah lisan alias interpreter untuk proyek konstruksi di Cikande, Serang. Proyek itu akan berlangsung selama setahun dan si interpreter akan bertugas menjembatani komunikasi antara tim dari luar negeri (terdiri dari insinyur Inggris, Prancis, Jerman, Cina, Irlandia Utara, dll.) dengan tim lokal lewat bahasa Inggris. Jujur, ini tergolong tantangan yang tinggi, mengingat pengalaman interpreting saya dalam kapasitas profesional saat itu masih nol. Latar belakang saya adalah penerjemahan tulisan/dokumen, dan walaupun saya dipaksa rajin cas-cis-cus dalam bahasa Inggris di masa-masa kuliah dulu, sejujurnya beberapa tahun setelah kuliah kemampuan bicara/mendengar Inggris saya sudah mulai karatan.

Tapi, akhirnya tantangan itu saya songsong dengan dada (begeng) membusung. Setelah saya pikir-pikir, bukannya saya juga belajar penerjemahan tulisan secara otodidak dan praktik langsung? Saya selalu percaya pengalaman adalah guru terbaik dan kalau alasan menolak tantangan itu karena "belum ada pengalaman".... yah, terus kapan akan ada pengalamannya? Idealnya, memang kita belajar berenang mulai dari kolam renang anak-anak dulu, tapi seringkali hidup nggak sebaik itu dan memberikan kesempatan pertama dalam bentuk laut penuh piranha. Terserah pada kita apa mau mengambil kesempatan itu atau nggak.


(saya dan Babe Steve, project leader dari Nottingham, Inggris)

Untungnya, walaupun berkarat, kemampuan bicara-mendengar saya masih cukup baik untuk bisa lolos dari tes wawancara. Resmilah saya bekerja di site konstruksi tersebut. Ada banyak sekali hal baru yang saya dapat di sana, yang pertama dan paling penting:

Interpreting itu susah.

"Semua orang juga tahu!" Iya, tapi perlu ditekankan lagi bahwa latar belakang pendidikan di bahasa Inggris ternyata nggak serta-merta menjadikan kita interpreting yang baik. Latar pelakang penerjemahan (tulisan) juga bukan modal otomatis. Selain kemampuan teknis berbahasa, interpreting (*terutama jenis yang saya alami, yaitu interpreting spontan di tempat dan seringkali sulit diprediksi sebelumnya) sangat membutuhkan kecepatan berpikir, daya konsentrasi yang tinggi, dan kemampuan tahan banting serta belajar dari kesalahan... karena bertugas sebagai interpreter pasti akan sering melakukan kesalahan. Salah dan salah dan salah lagi.

Kehilangan konsentrasi dan gagal menangkap maksud dari pembicara asli. Kesulitan mencari padanan kata yang tepat. Gagal menyampaikan seluruh isi pesan pembicara asli, atau yang lebih gawat lagi, menyampaikan isi pesan yang salah. Hal yang membuat proses interpreting menjadi lebih kompleks adalah fakta banyaknya elemen yang berada di luar kendali/kemampuan kita sebagai interpreter. Bagaimana seandainya pembicara asli bicara dengan aksen yang kurang jelas? Bagaimana seandainya pembicara asli bicara dengan sangat bertele-tele? Bagaimana seandainya pembicara asli menggunakan istilah atau jargon yang tidak kita pahami?

Tapi, percaya atau nggak, solusi alami untuk semua hal itu akan muncul dengan sendirinya lewat proses yang diulang-ulang. Sejujurnya, nggak ada panduan teori yang dapat membantu kita menjadi interpreter yang handal, biarpun hal-hal berikut akan sangat membantu:

1) Persiapan. Seandainya ini interpreting untuk presentasi, pelajari materi dan apa yang akan dibahas dari jauh-jauh hari sebelumnya. Seandainya ini interpreting untuk rapat, pahami konteks dan tujuan dari rapat itu sendiri. Inisiatif sangat penting dalam hal ini, karena seringkali orang-orang yang berkepentingan terlalu sibuk/kelupaan untuk mempersiapkan kita selain garis besarnya.

2) Konsentrasi. Bengong atau melamun selama bertugas itu haram jadah; selalu usahakan nggak ada satu kata atau kalimatpun yang luput dari pendengaran. Ini tantangan tersendiri buat orang-orang seperti saya, yang kadang pikirannya sering mendadak mengembara sampai sejauh planet Pluto.

3) Saat di luar tugas, pastikan "mesin" nggak berkarat. Ini zaman Internet dan globalisasi (*serasa nulis paragraf awal makalah), nggak ada alasan kenapa kita nggak bisa mengumpulkan bahan dan sumber untuk belajar/latihan otodidak. Ajak teman latihan. Perkaya kosa kata. Tonton video/film asing. Pertimbangkan untuk ikut speaking club yang sering aktif di akhir pekan atau selepas jam kantor, atau investasi untuk speaking course.

4) Sering-sering korek kuping dan minum ginkgo biloba.

Setelah perjalanan ini semakin terasa menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku kawan yang panjang dan berliku, saya sendiri pun di tengah proyek berhasil mencapai titik di mana saya mendapatkan 'ritme' atau groove yang membuat pekerjaan menjadi jauh lebih nyaman. Dengan kata lain, saya telah terbiasa. Bukan berarti saya otomatis jadi jenius yang kemudian nggak pernah salah lagi, tapi sungguh melegakan saat melihat apa yang awalnya terasa begitu berat kemudian menjadi jauh lebih bisa dihadapi.

Pada dasarnya, saya menekuni bidang ini karena penerjemahan (dalam bentuk apapun) sebenarnya ibarat gerbang ke dunia atau sumber pengetahuan baru. Proyek di Serang yang saya ceritakan ini misalnya, mengajarkan saya berbagai kultur bekerja dan keseharian orang dari berbagai negara, dunia engineering dan berbagai elemen yang terlibat di dalamnya, aspek-aspek produksi/konsumsi/distribusi, aspek keamanan pekerja, dan masih banyak lagi. Menjadi jembatan antara kultur dan bahasa yang berbeda mengharuskan saya untuk turut memahami pengetahuan yang ditransfer antara keduanya, dan membuat saya sadar betapa dunia ini begitu luas dan mengandung tak terhitung banyaknya hal yang bisa dipelajari.

Sunday, January 11, 2015

Indie Book Review: Stories from The Past (Silvarani)


Stories from The Past (Kumpulan Novella)
Penulis: Nadia Silvarani
Penerbit: Nadia Silvarani
Genre: Drama sejarah
Halaman: 200
Cover Design: Muhammad Amin
Tahun: 2013


Kira-kira di akhir 2013, buku yang  ditulis seorang teman kuliah  ini  sempat menemani saya di perjalanan bolak-balik  Jakarta-Serang dalam rangka mencari nafkah. Lumayanlah daripada terus-terusan memelototi biduan-biduan berbusana minim yang sering nongol di TV bis antarkota, hehehe. Buku ini menarik, bukan hanya karena faktor koncoisme mentang-mentang saya kenal penulisnya, melainkan karena tema dan gaya penulisannya yang tergolong segar. 

Dalam buku ini ada tiga novella/novellette (<--kakaknya cerpen, adiknya novel), Lonceng Eksekusi, Sebeloem Monas Dibangun, dan Tjinta Seperempat Abad. Seandainya Anda bertanya-tanya kenapa judul-judul ceritanya ditulis dengan gaya tempo doeloe, buku ini memang pada dasarnya memiliki nuansa sejarah yang kental, khususnya sejarah kota Jakarta. Fiksi sejarah? Yap! Di era di mana anak muda Jakarta mungkin bisa hafal nama lengkap personil band luar negeri kesayangannya tapi planga-plongo kalau ditanya soal sejarah kota tempatnya tinggal, cukup menyenangkan bahwa ada penulis yang mengintegrasikan faktor edukasi dalam kemasan fiksi populer. 

Sesuai dengan judul bukunya sendiri, novella-novella tersebut mengangkat kisah-kisah dari masa lalu. Bukan hanya masa lalu dari karakter-karakternya, melainkan juga masa lalu dari latar kota Jakarta jauh sebelum ia menjadi ibu kota metropolitan yang banyak didambakan sekaligus dibenci. Pola masing-masing cerita biasanya diawali dengan adanya tokoh-tokoh di era modern yang kemudian menjembatani pembaca kepada sebuah kisah di masa lalu; Reno, seorang pelukis dan jurnalis lepas yang mengunjungi pameran seorang pelukis Prancis di era kolonial (Lonceng Eksekusi) dan mencari tahu latar belakang calon suami sahabatnya (Tjinta Seperempat Abad), serta Bintang dan Veli, sepasang mahasiswa yang akrab dengan seorang engkong penghuni panti wreda (Sebeloem Monas Dibangoen). Dari situlah, muncul benang merah yang mengaitkan peristiwa di masa lalu dengan apa yang dialami tokoh-tokoh utama di masa kini. 
 
Range ketiga novella tersebut cukup membuat saya kagum.  Ketiganya memiliki gaya dan atmosfer yang beragam; Lonceng Eksekusi merupakan cerita yang paling singkat dan bernuansa getir, Sebeloem Monas Dibangun adalah komedi roman yang bernuansa jenaka, sementara Tjinta Seperempat Abad tergolong drama keluarga sekaligus kisah paling panjang dan dramatis dalam buku ini. Namun, semuanya memiliki narasi yang kuat dan jarang sekali menjadi membosankan saat dibaca. Gaya penulisan Silvarani cenderung lugas dan tidak bertele-tele, jarang memakai bahasa yang berbunga-bunga namun bukan berarti tanpa substansi.  Di Lonceng Eksekusi misalnya, terlihat kekuatan dari segi  penggambaran latar dan deskripsi atmosfer dalam cerita yang menurut saya memiliki konsep ide (*pengalaman seorang pelukis yang melukis narapidana hukuman mati di era kolonialisme) paling menarik di buku ini. 

Sejauh mata memandang, penduduk Batavia memadati alun-alun. Mulai dari penjaja makanan, kuli, pemusik jalanan sampai bangsawan Eropa dan orang pemerintahan selalu berebutan menonton hukuman mati. Jika eksekusi berhasil, mereka bersorak. Jika eksekusi gagal, mereka bersorak pula. Tak jelas bagaimana bentuk perasaan mereka saat itu (Lonceng Eksekusi, hal. 15)
 
Saya juga menyukai dialog dan interaksi karakter secara umum di buku ini. Dialog yang ditulis Silvarani menggambarkan karakter yang benar-benar hidup, alami, dan seringkali terasa lucu tanpa memaksakan diri untuk terang-terangan melawak. Bumbu humor paling kental terasa di cerita pertengahan, Sebeloem Monas Dibangoen, yang menampilkan tokoh seorang engkong dengan tingkah laku agak sableng.

"Ngomong-ngomong, kemaren lu denger pidato presiden di RI?" 
"Kagak dengerin bang. Aye semalem nginep di Rumah sakit umum. Kagak bawa radio. Berat bang."
"Siapa nyang nyuruh lu nenteng-nenteng radio ke Rumah sakit Umum? Gue cuman nanya, elu dengerin pidato presiden kagak di radio? Tapi ngomong-ngomong, ngapain lu ke rumah sakit Umum?"  (Sebeloem Monas Dibangun, hal. 39-40)

Kumpulan novella ini ditutup dengan Tjinta Seperempat Abad, yang agak 'kalah' dari kedua cerita lainnya di mata saya karena ada beberapa titik perkembangan cerita yang saya rasa terlalu bombastis. Walau begitu, cerita ini tetap tergolong bagus karena kekuatan temanya yang menyorot aspek keluarga, khususnya dalam perbandingan antara keluarga kandung yang telah lama meninggalkan seorang tokoh di situ dengan keluarga angkat yang membesarkannya. Digambarkan juga aspek dunia kedokteran di era kolonialisme dan sentuhan atmosfer era tersebut yang cukup efektif. 

Walaupun buku ini diproduksi secara independen, namun kualitas produksinya tergolong bagus. Sampul depan dan belakang menampilkan ilustrasi asli yang menawan dari M Amin, dan sangat menggambarkan tema serta atmosfer dari Stories from The Past. Kadang ada salah ketik dan inkonsistensi kapitalisasi huruf (*lihat penulisan rumah sakit umum di salah satu kutipan di atas, misalnya), tapi masih dalam batas kewajaran dan tidak terlalu mengganggu kenyamanan saya membaca. 

Pada akhirnya, saya pun mendapat kesan yang kuat setelah menyelesaikan semua cerita di buku ini. Aspek sejarahnya memang bisa digali lebih dalam lagi dan penulis pun menyampaikan maaf seandainya ada kesalahan faktual, tapi niat untuk menyertakan elemen tersebut saja sudah patut diacungi jempol. Dalam kata pengantarnya, penulis sempat menyinggung "menerbitkan novel sejarah untuk karya perdana ini adalah sebuah langkah yang agak cari mati....", tapi secara pribadi saya yakin masih banyak yang ingin mendapat angin segar seperti ini di belantara genre metro pop yang terkesan stagnan.
 
Don't ever be afraid to write things you're passionate about. 
 
(*penulis bisa dihubungi untuk kepentingan pemesanan buku lewat akun Twitter @silvarani atau @silvaranibooks).