Friday, September 13, 2013

Kisah Singa dan Burung Hantu


Latihan menulis fabel yang "gelap". Bisa berdiri sendiri, tapi lebih merupakan prolog dari (rencananya) cerita yang lebih besar.

***

Di tanah nun jauh dari peradaban manusia, terdapat sebuah hutan rimba yang dihuni berbagai jenis binatang. Hutan itu sendiri secara turun-menurun diperintah oleh keluarga singa, yang merupakan binatang paling disegani di hutan itu. Secara turun menurun pula, singa di kerajaan itu didampingi oleh penasihat berupa burung hantu. Burung hantu adalah binatang yang paling dipercaya di hutan, matanya yang besar dianggap menandakan kebijaksanaan yang berlimpah, sedangkan suara kukuknya yang khas disebut-sebut merupakan simbol kesetiaan terhadap keluarga singa. Konon, bila sang singa penguasa tengah berada dalam bahaya, suara kukuk burung hantu lah yang menjadi tanda peringatan bagi dirinya agar dapat lolos dari malapetaka yang akan menimpanya.

            Pada suatu zaman, hiduplah seekor singa yang tidak lain merupakan penguasa baru dari hutan itu. Singa ini sebenarnya masih tergolong anak singa, surainya pun masih belum tumbuh dengan sempurna. Namun, ia sudah harus mengemban beban memimpin hutan selepas kematian ayahnya, sang raja sebelumnya, akibat sakit. Kehidupan sang anak singa yang sebelumnya kerjanya hanya main dan bermalas-malasan pun berubah total seiring dengan jatuhnya berbagai jenis kewajiban yang harus dijalankannya. Dalam hal ini, ia menjadi banyak bergantung pada burung hantu pendampingnya, yang sebelumnya juga telah menjabat sebagai penasihat ayahnya.

            “Baginda Raja Muda tenang saja. Anda cukup tampak gagah dan berwibawa saja, biar saya yang menangani tetek-bengek urusan hutan,” begitulah kata sang burung hantu untuk menenangkan sang singa, yang ketakutan setengah mati begitu penobatannya. Maka, sang raja baru pun menjadi lebih tenang. Untung ada si burung hantu! Begitulah pikirnya di hari-hari awalnya berkuasa.

            Namun, semakin lama sang singa muda menjadi semakin resah. Ia mendengar kasak-kusuk di hutan bahwa dirinya tidak siap dan tidak pantas untuk memerintah. Ia pun dapat menangkap kurangnya rasa respek dan percaya rakyatnya kepadanya, berbeda sekali dibandingkan dengan saat ayahnya masih berkuasa. Hal ini sangat mengganggu sang raja muda sehingga ia pun tidak dapat makan dan tidur dengan tenang. Di bayangannya, ketika pertemuan besar hutan, hewan-hewan yang membungkuk di hadapannya sebenarnya mencibir dirinya.

         Sehari-harinya pun, sang singa pun menyampaikan keluh-kesahnya kepada burung hantu penasihatnya.


            “Wahai burung hantu, apakah ini hanya perasaanku saja atau memang rakyatku membenci aku?”

            Burung hantu mendecak prihatin. “Ya, sejujurnya ini memang suatu masalah, Baginda. Dan baru-baru ini aku baru saja mendapat kabar mengkhawatirkan. Ada beberapa binatang yang melaporkan bahwa mereka tengah didekati oleh seekor binatang yang ingin menyusun rencana untuk menggulingkan Baginda!”

             “Apa!? Si-siapa binatang itu?? Siapa yang telah begitu lancang merencanakan hal seperti itu!”

             “Sang badak, Baginda.”

            Keterkejutan sang raja menjadi semakin besar mendengar jawaban tersebut apalagi karena sang badak sebelumnya adalah salah satu sahabat ayahnya. “Astaga! La-lalu aku harus bagaimana sekarang!? Katakan padaku burung hantu, apa yang harus kulakukan!?”

            “Untungnya kita mengetahui hal ini sebelum semuanya terlambat, Baginda,” bisik burung hantu lembut. “Jadi, kita dapat mengambil tindakan untuk mencegah niat busuk si badak. Hamba sarankan kita bawa si badak ke pengadilan hutan dan kita eksekusi dia.”

            “Apa?? Tapi, dia mantan sahabat ayahku! Apa bukti-buktinya sudah cukup? Dan apa kita harus membunuhnya? Tidak bisakah kita usir saja dia?”

            Suara burung hantu menjadi lebih tegas. “Tidak bisa, Baginda. Kita harus eksekusi dia di depan publik, sebagai tanda peringatan kepada hewan-hewan lainnya untuk tidak coba-coba melakukan hal yang sama. Kalau tidak, Baginda Raja Muda akan dicap sebagai pemimpin yang lemah dan reputasinya akan semakin jatuh. Soal bukti, tenang saja, hamba bisa jamin bahwa kita sudah memiliki cukup bukti dari sumber-sumber yang terpercaya, di antaranya para monyet.”

            Maka, sang raja muda pun menurut. Walau masih ada bimbang di hatinya, ia memutuskan mengikuti saran sang burung hantu yang selama ini dianggapnya telah begitu cerdas dan bijaksana membantunya menjalankan fungsi pemerintahan di hutan. Keesokan harinya, sang badak ditangkap dan dibawa ke hadapan raja berikut sejumlah rakyat penghuni hutan yang telah diperintahkan untuk berkumpul.

            “Apa-apaan ini!? Ini fitnah!” lenguh si badak di tengah-tengah lapangan yang sekaligus akan menjadi tempat eksekusi. “Aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk yang kalian tuduhkan!”

            Si raja mengkerut menghadapi amarah badak sekaligus suara-suara gelisah dari kerumunan penonton. Namun, si burung hantu segera menghampirinya dan berbisik dengan nada mendesak. “Anda tidak boleh ragu, Baginda! Saat inilah Anda harus menunjukkan kewibawaan sebagai raja! Badak itu sudah jelas terbukti bersalah, eksekusi harus dijalankan untuk menjaga kehormatan kerajaan!”

            Setelah menarik napas dalam, sang raja pun mengeluarkan auman yang keras. Seketika, bunyi kasak-kusuk terhenti dan sang badak pun berhenti memberontak. Seketika merasa lebih percaya diri, singa itu membusungkan dadanya dan berteriak kepada si badak.

            “Diam kau, badak! Para monyet sudah memberikan kesaksian bahwa kau telah berani merencakan pemberontakan terhadapku! Jangan coba-coba membantah lagi!”

            “Betul-betul!” sahut monyet-monyet yang bergelantungan di ranting pohon sekitar, sambil bertepuk tangan dengan meriah menyambut kata-kata raja singa. “Bunuh, bunuh, bunuh!!”

            Sang badak berhenti memberontak dan kini menatap anak dari sahabatnya itu dengan pandangan sedih dan memohon. “Tolonglah, Nak...buka matamu lebar-lebar.”

            Raja singa meledak marah. “Aku bukan anak-anak!! Aku sang Raja!!! Pengawal, apa yang kalian tunggu? Cepat habisi dia!”

            Maka, sang badak pun dieksekusi dan sang Raja pun menjadi jauh lebih lega, menyangka bahwa peristiwa itu akan menumbuhkan rasa segan penghuni hutan kepadanya. Namun, bukannya menyurut, situasi sepertinya malah bertambah parah. Setiap minggu, ada saja kabar baru dari si burung hantu mengenai hewan-hewan yang merencanakan hal-hal tidak mengenakkan terhadap raja. Eksekusi menjadi hal yang rutin dan pemerintahan si raja muda pun kemudian dikenal sebagai pemerintahan teror yang akan menghukum siapapun yang berani bicara buruk tentang raja.

            Sang singa kembali lagi merasa galau. Ia memang ini disegani, tapi bukan begini caranya! Dan kenapa selalu saja ada hewan baru yang merencanakan kejatuhannya? Sampai kapan semuanya harus berjalan seperti ini?

            “Ayaku dulu dihormati dan dicintai rakyatnya,” keluhnya seperti biasa kepada si burung hantu yang selalu setia mendengarkan. “Tapi aku? Aku tidak punya teman sama sekali! Mereka memang patuh kepadaku, tapi hanya karena takut dihukum mati! Bagaimana ini, burung hantu?”

            Burung hantu memandangi singa muda lama dan tajam. Akhirnya, dia pun bersuara. “Hamba punya sebuah saran, Baginda. Ada satu hal yang dapat Baginda lakukan untuk mendapatkan rasa cinta dan hormat yang tulus dari para rakyat. Tapi, hal ini membutuhkan keberanian dan keperkasaan yang luar biasa.”

            Sang singa menyahut bergairah, “Apapun itu, aku siap melakukannya! Badanku sudah semakin kuat sekarang, jadi rintangan apapun pasti bisa kuatasi!”

            “Hamba mendengar kabar bahwa banyak hewan penghuni hutan yang mati misterius akhir-akhir ini. Katanya, ada seekor makhluk yang diam-diam membunuhi mereka setiap harinya. Saat ini, hutan tengan resah dan takut akibat kehadiran makhluk ini.”

            Sang raja terkejut. “Apa!? Kenapa baru sekarang aku dengar hal ini?”

            “Hamba tidak ingin menyusahkan Baginda, yang sudah pusing memikirkan berbagai urusan lainnya. Lagipula, Hamba ingin mengumpulkan informasi yang cukup dulu sebelum menyampaikan hal ini. Nah, kini Hamba sudah mengetahui lokasi bermukimnya makhluk itu. Kalau Baginda memang siap, kita berangkat malam ini juga untuk menghabisinya saat ia tidur.”

            “Malam ini? Bu-bukannya aku takut, tapi kenapa begitu mendadak? Dan apa kita hanya pergi berdua saja? Aku juga tidak terbiasa dengan perjalanan malam!”

            “Makhluk itu harus secepatnya dihabisi sebelum makan korban lagi. Baginda tidak usah takut, hamba sudah memastikan kapan makhluk itu tidur sehingga ia paling rawan diserang. Lagipula, walaupun ia kuat dan cerdas, hamba percaya bahwa ia bukan tandingan Baginda. Namun, kita tidak bisa berangkat dengan pasukan karena ada risiko ia akan menyadarinya dan melarikan diri. Mengenai soal malam hari, serahkan saja kepada hamba untuk menjadi penunjuk jalan bagi Baginda. Kekuatan hamba memang tidak ada apa-apanya dibandingkan Baginda, tapi tidak ada hewan lain di hutan ini yang lebih menguasai kondisi malam daripada hamba.“

            “Hmmm....baiklah kalau begitu! Kau yakin dengan melakukan hal ini, rakyatku akan berbalik mencintaiku?”

            “Makhluk itu sudah cukup lama meresahkan hutan. Setelah kita menghabisinya, besok pagi kita akan kumpulkan para penghuni hutan dan tunjukkan kepalanya. Hamba jamin mereka akan segera bersujud di hadapan Baginda!”

            Maka, malamnya pun mereka berdua berangkat di tengah kegelapan hutan menuju tempat yang disebut-sebut burung hantu merupakan sarang dari sasaran mereka. Selama perjalanan, sang singa merasa semakin letih dan gelisah. Beberapa kali ia tergelincir atau tersandung sesuatu karena matanya tidak terbiasa dengan gelapnya malam di hutan.  Namun, ia terus membayangkan keesokan pagi saat seisi hutan akan menatapnya takjub setelah aksi heroiknya malam ini.

            Setelah cukup lama mereka menempuh perjalanan, sang burung hantu yang memandu singa dari atas, turun ke dekat kepala si raja dan berbisik di telinganya. “Sebentar lagi kita sampai di sarang makhluk itu, Baginda! Saya akan berjaga di pohon sekitar sampai baginda melancarkan serangan pertama, setelah itu saya akan turun dan melancarkan serangan kejutan begitu ia sudah bangun dan menyerang balik.”

            Sang singa mengangguk tegang. “Ya, burung hantu. Ka-kalau terjadi apa-apa denganku...“

            “Tenang saja Baginda, tidak akan ada apa-apa yang terjadi pada Baginda...hewan itu kuat, tapi ia tidak sekuat Baginda dan saya...”

            “Ya, tapi apapun yang terjadi, aku ingin mengucapkan terima kasih, burung hantu. Kau bukan hanya penasihat yang handal, tapi juga satu-satunya sahabat sejatiku selama ini. Kalau kau yang tidak selamat, aku tidak akan melupakanmu.”

            Burung hantu tersenyum lembut, suaranya penuh haru saat ia membalas. “Terima kasih kembali Baginda, suatu kehormatan besar bagi saya untuk dapat melayani seeekor raja muda yang begitu tangguh dan berani...”

            Maka, si burung hantu pun melayang ke sebuah pohon dan hilang ditelan gelapnya malam. Sang singa mengawasi pohon tersebut sejenak, lalu beranjak dengan hati-hati menembus semak belukar. Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Singa tersebut mengedarkan pandangan, namun ia tidak menemukan apapun yang menyerupai sarang. Saat ia mulai dilanda bingung, tiba-tiba terdengar suara yang memecah kesunyian malam. Suara itu segera dikenalinya sebagai suara kukuk dari burung hantu penasihatnya.

            THWACK!

            Sebuah batu yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon dan menghantam sisi kepala sang singa. Ia segera tersungkur ke tanah, syok sekaligus kesakitan. Sementara, dari sekitarnya tiba-tiba terdengar suara riuh bersemangat yang disusul munculnya monyet-monyet turun dari pepohonan.

            Sang singa menggelengkan kepalanya dan berusaha bangkit, namun para monyet itu segera berhamburan dan memegangi badannya dengan kasar. Raja muda itu, yang cedera cukup parah akibat hantaman batu sekaligus letih karena perjalanan jauh, tidak cukup kuat untuk dapat meronta lepas dari para penyergapnya itu. Di tengah kepanikan, ia pun teringat pada penasihatnya yang bertengger di pohon dekat situ dan segera berteriak.

            “Burung hantu, tolong aku!!”

            Sang burung hantu pun menampakkan sosoknya. Tapi, ia tidak menyerang monyet-monyet yang memegangi sang raja. Sebaliknya, ia melangkah dengan santai dan berhenti tepat di hadapan mereka. Sang singa menatapnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari betapa besar tubuh si burung hantu, betapa lebar sayapnya, dan betapa tajam cakarnya. Lebih dari segalanya, ia menyadari betapa tajam dan dingin sorot mata si burung hantu.

            Lalu, ia pun mengerti.

            “Ka-kau....”

            “Ya, Rajaku yang terhormat. Kau akan mati malam ini.”

            Sang raja terbatuk-batuk dan mencoba menggeliat bangkit untuk menyerang si burung hantu, tapi sebuah pukulan keras dari salah satu monyet menghentikan upayanya.  

            “Kau raja yang bodoh. Raja yang tidak pantas hidup. Sudah saatnya aku mengambil alih dan mengakhiri era para singa. Memang butuh banyak pengorbanan, tapi ini semua demi kebaikan bersama.”

            Tubuh singa terasa semakin lemas dan pandangannya semakin kabur, tapi ia masih bisa menggeram marah. “La-lalu siapa yang akan jadi raja? Kau? Ma-makhluk jahat sepertimu, burung hantu...”

            “Lebih baik raja yang jahat daripada raja yang bodoh. Dan kini aku bukan sekedar burung hantu lagi...aku kini adalah sang Penguasa Malam.”

            Di tengah gelap malam hutan rimba tersebut, sebuah jeritan nyaring dari binatang yang tengah sekarat memecah keheningan. Lalu, sunyi kembali tiba.

            Sang raja telah mati.