Sunday, March 14, 2021

Tantangan Film 2021 #3: Inhuman Kiss

Dari Israel, saya berlanjut ke Negeri Gajah Putih untuk memenuhi tantangan nonton berikutnya: 'film dari Thailand'. Tema ini disumbang oleh sobat nonton saya, Dion, penggemar film Thailand merangkap fanboy aktris Pimchanak 'Baifern' Luevisadpaibul. Dibanding dia, jam terbang saya nonton film Thailand jauh lebih sedikit; saya hanya pernah nonton Shutter dan Bad Genius, tapi saya suka dua-duanya (terutama Bad Genius yang merupakan salah satu film favorit saya dalam beberapa tahun terakhir). Jadi, saya lumayan bersemangat untuk mengeksplorasi lagi khasanah perfilman negara ini.

Setelah mengobok-obok katalog film Thailand di Netflix (yang koleksi film Asia Tenggaranya cukup oke), pilihan akhirnya jatuh kepada film horor Inhuman Kiss


Inhuman Kiss (2019)

Sutradara: Sitisiri Mongkolsiri
Durasi: 122 menit
Pemain: Phantira Pipityakorn, Oabnithi Wiwattanawarang, Sapol Assawamunkong, Surasak Wongthai
Staf Kunci: Chukiat Sakveerakulr (penulis naskah); Pithai Smithsuth (sinematografi);  Pithai Smithsuth (musik); Manussa Vorasingha, Abhisit Wongwaitrakarn (editing)
Distributor: M Pictures/Netflix (bisa ditonton di website Netflix)

'Bintang utama' film ini adalah krasue, arwah kepala wanita terbang dengan untaian organ-organ di bagian bawahnya. Bagi penggemar film horor Indonesia, pastinya sudah lumayan familiar dengan jenis hantu ini, yang di sini kita sebut 'pelasik'. Rupanya sosok ini bisa dibilang 'milik bersama' kawasan Asia Tenggara, karena banyak negara yang memiliki legenda tentangnya dengan versi masing-masing. 

Krasue dalam film ini dikisahkan tengah meneror sebuah desa pada periode 1940-an di Thailand, dengan memangsa hewan ternak para penduduk di malam hari. Di desa ini, tinggal gadis remaja bernama Sai (Phantira Pipityakorn), yang tumbuh bersama  teman-teman masa kecilnya, Jerd (Sapol Assawamunkong), Noi (Oabnithi Wiwattanawarang), dan Ting (Darina Boonchu). Pada suatu hari, Noi yang sudah lama meninggalkan desa, pulang kampung bersama pasukan pemburu krasue yang dipimpin seorang pria tua obsesif, Tad (Surasak Wongthai). Cerita berkembang menjadi roman cinta segitiga antara Sai, Noi, dan Jerd, sementara perburuan krasue terus berlanjut dan rahasia kelam pun satu-persatu terkuak...


Satu hal yang mungkin perlu dicamkan calon penonton film ini: jangan berekspektasi akan nonton film horor 'konvensional' yang bikin merinding atau jerit-jerit ala orang kesurupan. Malah, saya merasa ini sebenarnya film romansa dengan bumbu makhluk horor, bukan sebaliknya. Selain di adegan pembuka yang lumayan mencekam, jarang ada trik film horor pada umumnya untuk mengagetkan atau menakut-nakuti penonton dengan jump scare, musik seram, dan sebagainya. Adegan menegangkan dari pertengahan filmnya juga bisa dibilang lebih menjurus thriller daripada horor.

Bukannya berarti film ini mengecewakan, justru ada pendekatan unik dengan lebih menekankan pada hubungan antarkarakternya. Apalagi, Inhuman Kiss mendekonstruksi sosok krasue dan nuansa horor yang identik dengannya secara menarik. Alih-alih balas dendam dan pertumpahan darah, krasue di sini dipakai untuk merefleksikan sisi lembut dari suatu 'monster' dan kisah cinta tanpa syarat antara manusia dan monster tersebut.
      

Satu hal yang saya apresiasi: film ini tidak memanjang-manjangkan misteri tentang identitas sosok krasue yang menghantui desa, yang dari awal sangat mudah ditebak. Pengungkapannya  dilakukan secara cepat, sehingga ada banyak waktu untuk mengeksplorasi penderitaan sang krasue dan ketulusan seorang pemuda yang berusaha membantu menyembunyikan identitasnya. Penonton jelas diposisikan untuk berada di pihak mereka, bukannya sebagai pihak yang merasa ngeri dengan si krasue. Dialog dan/atau akting para pemainnya tidak selalu berhasil menggugah, tapi pembangunan atmosfer dan naik-turunnya ketegangan cerita berhasil membuat saya konsisten terhanyut sepanjang film.

Tema tentang simpati terhadap sosok 'monster' dan kisah asmara antara manusia dengan 'monster' sebenarnya bukan hal baru dari sejak zamannya Frankenstein hingga Twilight. Namun, yang jadi tantangan tersendiri di sini adalah bagaimana 'memanusiawikan' krasue, sosok yang citranya mengerikan nan menjijikkan (masih jauh lebih gampang menampilkan vampir kece, misalnya, dibanding kepala cewek yang melayang-layang dengan organ masih gelantungan). Di sinilah tata artistik dan efek visual sangat berperan, dan sukses menampilkan sosok krasue yang semakin lama semakin terlihat memukau dalam ketragisannya. Estetika visual filmnya memang menonjol, dari pemilihan warna yang indah dan halus, hingga adegan klimaks luar biasa dengan efek laga yang tidak kalah dahsyat dibandingkan film superhero Barat.


Memang ada beberapa elemen dalam naskahnya yang rasaya bisa lebih dipoles lagi; saya sendiri ingin melihat lebih banyak adegan masa kecil, tidak hanya sekali di awal. Namun, pada dasarnya nuansa dan pendekatan yang dipilih filmnya sudah bagus, menghasilkan suatu roller coaster emosional dengan sosok monster yang menyedihkan...

No comments:

Post a Comment