Friday, November 16, 2012

Filippo Inzaghi & Makna Spesialisasi


Sewaktu final kejuaraan Euro 2008 lalu antara Spanyol vs. Italia, saya nobar bersama dua teman karib saya. Saat tim Italia memasuki lapangan, kami pun bernostalgia mengenang masa 1990-an saat Liga Seri A Italia tengah jaya-jayanya dan sangat digandrungi banyak orang Indonesia. Ya, waktu itu memang banyak sekali pemain sepakbola Italia yang sangat kharismatik dan berkesan: Alessandro Del Piero, Roberto Baggio, Franco Baresi, Paolo Maldini, Fransesco Totti, Gianfranco Zola....memang sekarang Italia juga masih punya banyak pemain bagus, tapi entah kenapa rasanya generasi sekarang kalah jauh daya magnetnya dibandingkan yang generasi 90-an itu. 

Obrolan kami pun beralih ke satu topik: “Siapa pemain favorit lo sepanjang masa dari Italia?” Teman saya yang pertama menjawab Del Piero, mungkin karena dia fans berat Juventus. Teman yang kedua jawabannya Totti, mungkin karena dia fans AS Roma.  Saya berpikir sebentar, lalu menjawab dengan mantap: Filippo Inzaghi. 

Kedua teman saya agak kaget. Kok Inzaghi? Ya, memang dia punya track record lumayan mantap: pernah juara Piala Dunia sekali, juara Liga Champion dua kali, juara Liga Italia sekali, dan runner-up top skor sepanjang masa di kejuaraan antarklub Eropa (nomer satunya si Raul, legenda Real Madrid). Dia striker ulung yang sudah mencetak ratusan gol untuk AC Milan, Juventus dan timnas Italia. Tapi, banyak juga komentar sinis soal Inzaghi, terutama menyangkut gaya mainnya.
Johan Cruyff, legenda persepakbolaan Belanda: “Inzaghi banyak mencetak gol...tapi dia tidak memiliki kualitas apa-apa.”
            Sir Alex Ferguson, manajer legendaris Manchester United: “Filippo Inzaghi terlahir dalam posisi offside.”

            Ya, gaya main si Inzaghi ini memang sangat khas dan banyak dikritik. Ia seorang poacher, tipe penyerang oportunis. Sekilas kalau orang hanya melihatnya sebentar, kesannya dia pemain yang sangat malas dan payah. Tekniknya biasa-biasa saja. Fisiknya tidak begitu kuat. Lompatan atau daya sundulnya payah. Tapi Inzaghi sangat jago dalam satu hal: penempatan posisi.


Inzaghi menghabiskan sebagian besar waktu pertandingan berkeliaran di sekitar lini pertahanan terakhir terakhir lawan, menunggu bola terobosan untuk disambut menjadi gol. Seringkali ia memang terjebak offside, tapi sekalinya ia berhasil lolos dan menguasai bola di kotak penalti....99% akan terjadi gol. Begitulah caranya bermain, dan para pengkritik Inzaghi selalu menggerutu kalau memang itu satu-satunya trik yang ia bisa; ia bukan tipe penyerang yang bisa turun menjemput bola, mengatur serangan, mendribel bola melewati beberapa pemain, atau melepaskan tendangan jarak jauh nan dahsyat.

Tapi, faktanya Inzaghi adalah seorang striker. Striker bermain dan dibayar untuk mencetak gol. Inzaghi bukan salah satu pemain terbaik dunia yang nyaris bisa segalanya, tapi ia berhasil menunaikan kewajibannya dengan sangat efektif dan dengan caranya sendiri. Ia sadar betul dimana kelebihan dan keterbatasannya sebagai seorang pesepakbola, dan hal itu sangat membantunya membangun jati diri sebagai pemain dan mencapai karier sukses. 

Tentunya, kita sebagai manusia harus terus berusaha mencari cara untuk mengembangkan diri kita dan mempelajari hal-hal baru. Tapi terkadang, ada saatnya kita berprioritas. Spesifikasi. Fokus di hal-hal tertentu yang memang merupakan kelebihan kita. It’s better to be really great at one thing rather than being average at many things. Mungkin nggak berlaku untuk semua orang, tapi prinsip itu sangat cocok untuk saya pribadi.   

Mungkin ada beberapa manusia multi-talenta yang (kesannya) bisa segalanya, tapi saya bukan salah satu dari mereka. Saya memilih untuk menekuni hanya beberapa hal tertentu yang memang sangat saya minati; saya memilih untuk lebih berusaha jadi spesialis alih-alih manusia sempurna serbabisa, karena saya percaya di dunia luas ini ada rekan-rekan yang kelebihannya bisa menutupi kekurangan saya dan begitu pula sebaliknya. Seperti Inzaghi yang juga saling melengkapi dengan rekan-rekan setimnya, bagai satu potongan dari kepingan puzzle. 

Satu lagi hal yang penting (paling penting, malah) tentang Inzaghi: ekspresinya setelah mencetak gol sangat khas. Ekspresi yang membuat saya nggak bisa kesal ke orang ini, biarpun ia pernah mencetak dua gol yang menghancurkan tim kesayangan saya Liverpool di final Liga Champion 2007.  



....The guy really loves what he’s doing, eh?

Inzaghi kini sudah pensiun dan rumornya akan meneruskan karier di dunia kepelatihan. Saya akan kehilangan pergerakannya yang sangat cerdik dan bagai bayangan. Saya akan kehilangan sentuhan penyelesaian akhirnya yang mematikan. Tapi, lebih dari segalanya, saya akan kehilangan ekspresi bahagia dan luapan emosinya setiap baru mencetak gol. Bukti kecintaan dan hasratnya akan permainan ini. 

Arrivederci, Super Pippo.

Friday, October 5, 2012

Tentang Penerjemahan




Entah sejak kapan saya berminat untuk menekuni karier di bidang penerjemahan.  Yang jelas, sewaktu kecil saya nggak paham sama sekali apa itu konsep penerjemahan.  Di pikiran saya waktu itu yang lugu-lugu-tolol, kalau ada buku yang bahasanya Indonesia ya berarti penulisnya pasti orang Indonesia. Nggak terpikir di benak saya kalau sebenarnya ada perantara di balik proses transfer ide dan konsep antara berbagai belahan dunia, yang menghubungkan dua latar belakang bahasa dan kultur yang berbeda sehingga bisa saling memahami. 

Baru setelah menekuni kuliah di Program Studi Inggris, saya benar-benar akrab dengan penerjemahan. Kebanyakan mahasiswa sastra atau bahasa harusnya tahu kalau menerjemahkan itu salah satu sumber pemasukan sampingan paling potensial saat masa kuliah (selain ngajar):  lumayan profitable, bisa dikerjakan selagi senggang jadwal perkuliahan, dan orderan nyaris nggak pernah sepi dari yang minta diterjemahkan tesis makalah hingga proposal bisnis. Yang saya paling suka, kompetensi penerjemahan pada dasarnya berbasis praktik alih-alih teori. Setiap ada yang tanya ke saya tentang kiat-kiat penerjemahan, saya selalu menjawab, “Banyak-banyak baca teks asing. Sering riset via internet. Tapi, di atas segalanya: latihan, latihan, latihan, dan terus latihan.”

Saya mengibaratkan penerjemahan itu seperti permainan catur: gampang dipelajari, tapi susah untuk dikuasai. Di atas kertas, siapapun yang punya kompetensi dasar bahasa pasti bisa menerjemahkan, apalagi di zaman sekarang yang berbagai kamus sudah bisa diakses relatif mudah. Pertanyaannya: apakah semua orang bisa menerjemahkan dengan baik? Apa semua orang bisa dengan mudah meniti karier jadi seorang penerjemah? Jawabannya: tentu tidak.

Penerjemahan membutuhkan kompetensi bahasa asing dan bahasa asal yang harus sama baiknya. Perlu ketelitian dan kesabaran tingkat tinggi. Perlu wawasan yag hanya bisa diperoleh dari banyak membaca. Perlu disiplin dan profesionalitas.  Perlu waktu bertahun-tahun untuk terus memoles semua itu. Semua orang mungkin bisa sesekali menerjemahkan, tetapi sejujurnya memang tidak semua orang bisa berkarier sebagai penerjemah.

Saya sudah sekitar tiga-empat tahun banyak berkecimpung dalam dunia penerjemahan, and I can honestly say that it is one of the hardest and most stressful careers ever. Saya masih cenderung mati kutu setiap menghadapi teks legal, yang sangat menuntut pengetahuan teknis. Saya seringkali gigit jari menunggu bayaran yang nggak kunjung datang. Saya pernah dicerca klien yang kurang puas dengan hasil terjemahan saya. Saya masih sering kurang cermat dan banyak melakukan kesalahan-kesalahan tolol yang harusnya sudah nggak terjadi lagi. Saya bahkan pernah salah perhitungan (baca: serakah) dan menerima order di saat saya nggak dalam kondisi yang tepat untuk bisa menyelesaikan order itu. 

Saya nggak malu mengungkapkan itu semua, karena memang kenyataannya nggak akan ada orang yang bisa langsung jago dan sukses dalam apapun. Ini semua bagian dari proses. A really tough and bloody process, full of sleepless nights and moments of frustration. I still have so much to learn and improve. However, that awesome feeling I got when I look at a completed text? That sense of adrenaline rush when everything clicked and I can successfully transferred everything into different language and culture? 

That makes everything worth it.  

Sunday, September 9, 2012

Prolog

         
            Jadi akhirnya, saya memutuskan untuk memulai blog ini. 

            ....Yah, sebenarnya pernyataan di atas itu nyaris nggak berarti apa-apa. Dari segala kekurangan saya (yang saking banyaknya jumlahnya, nggak cukup dihitung dengan jari-jari kedua tangan dan kaki saya sekalipun), yang paling parah jelas kebiasaan untuk nggak meneruskan atau menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. 

            Tapi, hal itu ingin saya ubah. Masa mau terus-terusan begini? Jadilah, saya berkomitmen pada diri sendiri untuk rutin mengisi blog ini. Terlalu banyak pikiran-pikiran berkeliaran dalam benak saya dan kemudian pupus tanpa sempat saya tuangkan. 

Mungkin lebih dari segalanya, saya perlu rutin menuliskan sesuatu sebagai emotional release. Katarsis, istilah kerennya. Ketika saya duduk bersila untuk menuliskan ini sambil mengunyah biskuit coklat, saya tengah berada dalam masa-masa yang mungkin paling sulit dalam kehidupan saya. Nggak usah diceritakan detailnya, tapi yang jelas kalau ada ungkapan “habis jatuh tertimpa tangga”, saat ini saya merasa baru saja “didorong jatuh dari lantai 20 gedung pencakar langit dan di bawahnya ditimpa Hulk si monster hijau” =)

            Tapi daripada sesenggukan meratapi nasib, lebih baik produktif kan? 

            Mungkin mukjizat tiba dan saya berhasil mematahkan kutukan “hangat-hangat thai ayam” yang sudah sekian lama menggerogoti hidup saya. Mungkin 10 tahun lagi, blog ini masih ada dan aktif. Mungkin akhirnya saya bosan dan sibuk (atau lebih tepatnya, menjadikan “sibuk” sebagai alasan) setelah baru satu-dua minggu sehingga akhirnya blog ini pun terlupakan. 

            We’ll see.