Monday, December 26, 2022

Catatan Film Indonesia: Nana, Ngeri-Ngeri Sedap, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas


Tahun 2021 lalu, saya melihat tanda-tanda menjanjikan dari perfilman Indonesia, yang memproduksi film-film seperti Yuni dan Penyalin Cahaya, yang turut meramaikan festival film internasional dengan kualitas sinematografi, naskah, dan tema di atas rata-rata. Oleh karena itu, di penghujung tahun ini pun saya menyempatkan diri untuk nonton beberapa film Indonesia yang sudah ada di radar saya. Untungnya, walau tipe-tipe film yang saya minati biasanya tidak lama mampir di bioskop (atau sayanya yang ketinggalan info tayang), mayoritas sekarang bisa ditonton di berbagai layanan streaming.

Berikut catatan kesan-kesan saya pribadi tentang tiga film anyar yang menurut saya menarik dibahas: Nana (bisa ditonton di situs Amazon Prime), Ngeri-Ngeri Sedap (ada di Netflix), dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (juga ada di Netflix): 


Nana (judul internasional Before, Now, and Then; sutradara Kamila Andini)

Setelah Yuni amat memukau saya tahun lalu, nama Kamila Andini langsung saya catat sebagai sutradara yang film-filmnya ke depan perlu saya pantau. Dengan Nana, beliau kembali mengangkat tema feminisme dan ketidadilan sosial yang dihadapi kaum perempuan Indonesia, tetapi kali ini berlatar periode 1960-an dengan dialog berbahasa Sunda. Film ini sebenarnya lebih umum disebut dengan judul bahasa Inggrisnya: Before, Now, and Then.... mirip-mirip judul blog ini ya, hehe. Namun, kali ini saya akan menggunakan judul Nana saja supaya tidak ribet, dan karena jadinya terasa selaras dengan Yuni (sama-sama menggunakan nama tokoh utama sebagai judul film). 

Figur sentral dalam film, Nana (diperankan apik oleh Happy Salma), terinspirasi oleh tokoh nyata; Raden Nana Suhani, yang ditampilkan di salah satu bab novel berjudul Jais Darga Namaku karya Ahda Imran. Kisah hidupnya memang menarik dan penuh lika-liku, mulai dari kehilangan keluarga dan harus meninggalkan kampung halaman akibat prahara pasca G30S/PKI, lalu menikahi seorang pria kaya raya, dan kemudian menyaksikan pria tersebut meminang istri muda. Skenario konflik rumah tangga seperti itu biasanya dibawakan lebay dan melodramatis, tetapi perkembangan di sini amat elegan dan mungkin tidak diduga penonton. Alih-alih duel istri pertama versus kedua, Nana justru menjalin persahabatan erat dengan sang istri muda bernama Ino (diperankan Laura Basuki), yang mengajarkannya agar tidak pasrah begitu saja kepada peran yang sudah digariskan untuknya oleh masyarakat.

Dalam benak saya, perempuan Sunda itu identik dengan laku anggun, santun, dan lemah lembut. Nana sangat mewakili citra tersebut, sebagaimana dibingkai oleh kamera maupun naskah saat ia bergerak mengitari rumah suaminya dan menjalankan tugas sehari-hari. Namun, seperti ungkapan dalam dialog penting Nana kepada anak bungsunya di awal film; perempuan kala itu menata rambut dalam sanggul untuk menjaga rahasia. Rahasia hati Nana itulah yang ujungnya menjadi penggerak perkembangan cerita di film ini.

Nuansa sejarah dari desain latar hingga gaya berinteraksi amat kental di film ini, dan atmosfer visualnya terasa sangat kuat dengan Nana di titik pusat. Di sisi lain, tempo penuturan ceritanya amat lambat, dan sejujurnya terasa membosankan di sejumlah bagian saat kita hanya menyaksikan Nana menjalankan kehidupan sehari-hari. Menurut saya, mungkin harusnya tokoh Ino muncul lebih awal, atau ada sedikit lebih banyak adegan di bagian masa lalu Nana. Hal ini bertolak belakang dengan Yuni, yang terasa jauh lebih dinamis dari segi perpindahan latar, bangun konflik, dan banyaknya interaksi karakter. 

Namun, pada akhirnya Nana akan menghadiahi penonton yang sabar dengan bobot cerita yang padat dan psikologi karakter yang kompleks. Rasanya tidak cukup ditonton sekali saja untuk mengapresiasi sejumlah detail pada filmnya, termasuk soal interpretasi adegan terakhir yang masih membuat saya agak penasaran.


Ngeri-Ngeri Sedap (judul internasional Missing Home; sutradara Bene Dion Rajagukguk)

Dari Sunda 1960-an, kita beralih ke nuansa Batak era modern... tepatnya, menyorot kehidupan sebuah keluarga dengan pasangan orangtua Pak Domu dan Mak Domu, serta empat anak mereka yang sudah dewasa (tiga di antaranya merantau meninggalkan rumah). Karena ketiga anak lelakinya tidak kunjung pulang-pulang padahal akan ada pesta syukuran penting, Pak Domu dan Mak Domu sepakat pura-pura akan cerai supaya anak-anaknya panik dan mau pulang. Namun, dari skenario fiktif nan sableng itu, ujungnya terungkap tensi nyata antar anggota keluarga, berikut berbagai kekecewaan, ketidakpuasan, dan penyesalan...

Awal konfliknya terasa tipikal drama komedi, dengan alur perkembangan cerita yang mudah ditebak... dan saya memang bisa menebak arah dan penyelesaiannya, sih. Namun, pembawaannya sebenarnya lumayan realistis dan memuat banyak unsur yang akan familiar bagi banyak penonton Indonesia dari marga apa pun: silang pendapat antara generasi muda dan tua, kengototan memuaskan ego pribadi dengan mengabaikan perasaan anggota keluarga lainnya, serta pemikiran yang sempit dan terlampau primordial ('orang suku X ya harus nikah dengan suku X juga!'). Unsur komedinya juga pas; seringkali saya susah menikmati film komedi Indonesia karena pembawaannya yang lebay nan garing, tapi film ini sukses membuat saya ngekek beberapa kali karena dialog lucunya sering muncul tak terduga. Transisi antara bagian serius dan lucunya pun terasa natural.

Selain adegan syukuran yang cukup panjang, adegan pemandangan danau Toba (yang sepertinya wajib ada di semua film bertema Batak), dan tentunya adegan interaksi sehari-hari, di belakang layarnya pun sarat nuansa Batak; mulai dari Bene Dion Rajagukguk sang sutradara; para pelakon seperti Arswendy Bening Nasution dan Tika Panggabean sebagai Pak Domu dan Mak Domu; maupun Viky Sianipar sebagai penata musik. Mereka sukses membawakan nuansa autentik pada kultur orang Batak, tak hanya unsur positifnya, melainkan juga dari sisi pemikiran kolot yang di sini diwakili Pak Domu. 

Dari segi sinematografi, mungkin film ini tidak semenarik dua film lainnya pada tulisan ini. Seperti saya singgung sebelumnya, formula plotnya juga masih tipikal dan gampang ditebak. Namun, film ini juga yang paling gampang direkomendasikan untuk ditonton bersama keluarga, teman, atau pasangan. Mudah dicerna, tapi dengan kandungan gizi dan pesan moral yang rasanya makin relevan di era sekarang. Bolehlah jadi film bertema Batak nomor dua favorit saya sejauh ini, setelah Toba Dreams (2015).

(*ngomong-ngomong, saya agak penasaran kenapa judulnya Ngeri-Ngeri Sedap, tapi sepertinya ungkapan tersebut mengacu kepada perbuatan Pak Domu dan Mak Domu yang membohongi anak-anaknya. Rupanya, ungkapan itu juga dulunya dipopulerkan oleh politisi Batak. Untuk lebih lanjutnya, bisa baca wawancara dengan Bene Dion di sini).




Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (judul internasional Vengeance is Mine, All Others Pay Cash; sutradara Edwin)

Terakhir, mari kita tutup petualangan kupas film lintas waktu ini di Jawa, periode akhir 1980-an. Film yang judulnya rentan bikin lidah keseleo ini awalnya adalah novel karya Eka Kurniawan, yang saya sudah lama tahu walau belum baca sampai tamat. Ilustrasi sampulnya lumayan berkesan dengan menampilkan sosok seekor burung yang terkulai lemas; melambangkan konflik internal tokoh utamanya, Ajo Kawir, yang menderita impotensi. Narasi bergulir dengan menampilkan sepak terjang Ajo sebagai petarung pemburu orang-orang jahat (mungkin kompensasi supaya tetap merasa jantan walau nggak bisa 'berdiri'), kisah cintanya dengan perempuan urakan tapi romantis bernama Iteung, dan berbagai peristiwa aneh bin ajaib yang menyinggung berbagai tema dari trauma seksual hingga era represif pemerintahan Orde Baru.

Kalau dipaksa dijabarkan dari genre, film ini bisa dibilang 70% drama romansa/psikologis, 30% aksi laga. Namun, sebenarnya ini film yang lintas genre... dalam artian, campur aduk ala rujak hampir semua ada di sini. Ada kejadian-kejadian yang cukup realistis, ada kejadian yang nuansanya magis. Ada komedi seputar impotensi Ajo Kawir, ada tragedi karena hal itu membuatnya merasa inferior. Ada nuansa manis dari hubungan Ajo Kawir dan Iteung, ada horor dari berbagai cerita tentang kekerasan seksual (walau film ini tidak terlampau eksplisit menampilkannya). Yang paling mungkin terasa bagi mereka yang merasakan periode 1980-an: ada nuansa nostalgia dari adegan bertukar pesan bucin via acara radio, gaya berpakaian tokoh-tokohnya, nama samaran seperti 'Paman Gembul', dan hal-hal khas Orde Baru seperti program Keluarga Berencana dan sepak terjang penembak misterius alias Petrus.

Edwin, sebagai sutradara yang di antaranya menggarap film pemenang penghargaan Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), rasanya memang cocok untuk skenario film ini yang bergaya  menjurus surreal dan sarat muatan komentar sosial. Seperti Dendam memang tipe yang cocok bagi penikmat film dengan gaya nyeleneh dan sinematografi menarik, walau perkembangan ceritanya mungkin akan membingungkan bagi yang belum baca novelnya (saya sendiri beberapa kali nyontek baca sinopsis ceritanya untuk memahami beberapa adegan yang ditampilkan agak ngacak). 

Di antara tiga film yang ditampilkan di sini, mungkin ini yang saya anggap terbaik. Komposisi visual, narasi, tema, dan aktingnya (khususnya dari Marthino Lio dan Ladya Cheryl sebagai duet maut filmnya) paling menarik buat saya. Walau demikian, komposisi adegan/editingnya memang rasanya perlu dipoles lagi supaya penyampaian narasinya lebih mulus; rasa-rasanya saya akan lebih memaknai sejumlah bagian jika baca langsung novelnya (yang sudah saya agendakan untuk kapan-kapan).

Semoga tahun 2023 pun banyak film Indonesia menarik lainnya~