Sunday, June 9, 2013

Anak Lelaki yang Bermain Layangan



Jauh jalan yang harus kau tempuh 
Mungkin samar bahkan mungkin berat
Tajam kerikil setiap saat menunggu
Engkau lewat dengan kaki tak bersepatu

Duduk sini Nak, dekat pada bapak
Jangan kau ganggu ibumu
Lekaslah turun dari pangkuannya
 Engkau lelaki...kelak sendiri.

 (Nak - Iwan Fals)

Di rumah seberang, ada sebuah keluarga. Seorang ibu, seorang anak perempuan tertua, seorang anak lelaki menjelang remaja dan seorang bocah kecil. Sang ayah, sang suami, sang kepala sudah tiada.

Si dua anak lelaki itu senang bermain layangan. Saat pagi, waktu angin bahkan belum berhembus kencang. Saat siang, waktu matahari terik dan ibu mereka sibuk membersihkan rumah orang. Saat senja, waktu kakak perempuan mereka pulang kerja dengan wajah lelah.

Malamnya, mereka bermain gundu. Butiran-butiran kecil berwarna-warni mereka sentilkan diiringi teriakan gembira. Tanpa beban, tanpa ketakutan akan hari esok. Anak lelaki yang pertama tidak mau meneruskan sekolah, ia memilih layangan di langit, komputer di warung internet dan gundu di jalanan dibanding buku pelajaran dan papan tulis. Anak lelaki yang kedua bagai bibit yang tumbuh di lahan yang gersang, terlalu lugu dan terlalu kecil untuk mengenali tatapan letih dan kerut-kerutan di wajah si Ibu.

Suatu saat nanti, mereka akan tumbuh. Mereka akan mengerti.

Semoga. 

Thursday, June 6, 2013

Introvert di antara Ekstrovert



                Jadi, saya introvert.  Punya beberapa sahabat yang introvert juga. Baru-baru ini, saya baru bertemu salah satunya dan diskusi semalaman tentang hal ini.

                Pemahaman yang umum tentang introvert/ekstrovert itu biasanya: introvert = tertutup, pendiam, dan penyendiri; sedangkan esktrovert = terbuka, supel, dan aktif. Sebenarnya, pemahaman semacam ini salah kaprah. Ada introvert yang banyak bicara dan aktif berkegiatan, sementara ada juga ekstrovert yang jarang/sulit berbaur dengan orang-orang walaupun sebenarnya ingin.  

                Lantas, apa dong sebenarnya definisi introvert/ekstrovert? Simpelnya begini: seorang introvert mencari dan mendapat validasi dari sumber internal, sedangkan seorang ekstrovert mencari dan mendapat validasi dari sumber eksternal (*kamus Merriam Webster, bersumber dari pemikiran Carl Jung). Ehm, itu nggak simpel ya? Oke, berikut penjelasan lebih detail. 

                Seorang introvert cenderung mengkonstruksi prinsip hidup sendiri dan memperoleh kepuasan hidup lewat standar yang ia tentukan sendiri. Sementara, seorang ekstrovert cenderung menyesuaikan prinsip hidupnya berdasarkan dunia eksternal di sekelilingnya dan memperoleh kepuasan hidup dari pengakuan publik akan eksistensinya. Nggak ada yang benar atau salah antara kedua hal itu; yang penting adalah kita dapat mengidentifikasi yang manakah kita dan mengembangkannya ke arah yang positif. 

                Karena saya introvert, jadi saya akan lebih banyak bahas tentang introversi di sini. Ini agak penting, karena saya rasa mayoritas orang di Indonesia adalah ekstrovert. Jadi, saya dan teman introvert saya sering merasa seperti “orang aneh”, hehe. Banyak pula sepertinya orang “introvert murtad” yang terpaksa mengikuti arus extrovert di sekelilingnya biarpun sebenarnya hatinya berontak. Berdasarkan pembahasan saya dan teman saya, berikut ini poin-poin yang paling kami rasakan sebagai introvert (ingat, ini sifatnya tidak ilmiah atau empiris atau apapun itu. Ini murni hanya hasil observasi, perenungan dan diskusi): 

                ~Nggak salah kalau introvert dibilang menikmati kesendirian, tapi bukan otomatis berarti mereka anti-sosial dan terus-terusan asik dengan diri sendiri. Saya sendiri dapat menikmati interaksi sosial dan punya kebutuhan untuk itu, TAPI ada (banyak) saat di mana saya butuh waktu dan ruang pribadi. Ada banyak aktivitas yang saya lebih suka lakukan sendiri.  Waktu kesendirian itu penting, karena saat itulah saya benar-benar dapat menjalin ide dalam kepala, mengembangkan imajinasi, dan terutama memproduksi sesuatu. 

                ~Saya lebih menyenangi interaksi sosial yang sifatnya lebih intim (*berjumlah sedikit) daripada ramai-ramai. Sekali lagi, ini bukan berarti saya membenci keramaian. Hanya masalah preferensi. Bicara berdua, misalnya, terasa jauh lebih nyaman dan akomodatif daripada bicara dengan banyak orang yang kepribadian dan minatnya berbeda-beda. Kalau bertemu dengan orang lain yang punya kecocokan dalam minat dan kepribadian, saya bisa betah ngobrol sampai berjam-jam. 

                ~Saya susah basa-basi dan beramah-tamah. Sulit untuk menerapkan etika-etika sosial yang nggak tertulis, apalagi sewaktu ingin mengerjakan sesuatu atau kepada orang yang belum dikenal. Kadang bisa ditutupi dengan agak dipaksakan (*karena skill  “basa basi busuk” memang penting di tengah lingkungan masyarakat kita dan hal yang harus saya terapkant, walaupun nggak akan bisa terjadi secara alami), terutama kalau mood sedang benar-benar bagus. 

                ~Masih berkaitan dengan poin barusan, jangan marah kalau menyapa seseorang saat berpapasan dan hanya dapat respon seadanya (*kurang senyum/kurang antusias/dll) atau telat respon. Kemungkinan besar dia introvert; kita memang sering ala kadarnya merespon panggilan akrab karena kurang tanggap menghadapi interaksi sosial yang muncul tiba-tiba (*apalagi kalau kepala sedang sibuk memikirkan sesuatu).  

               ~Kalau mengajak seorang introvert untuk kumpul-kumpul atau acara bersama dan dia menolak, jangan langsung asumsikan dia ada masalah dengan orang yang mengajak/acaranya/dirinya sendiri. Orang introvert nggak segan memilih untuk beraktivitas sendiri (*baca buku di rumah, meneruskan pekerjaan) dibanding kegiatan bersama JIKA memang mood-nya sedang ingin sendiri. Ini beda dengan ekstrovert, yang biasanya akan selalu memilih tidak sendiri dalam kondisi apapun kalau memang bisa. 

                ~Ada banyak orang yang menyatakan bahwa “kebahagiaan terbesar adalah bisa membuat diri berarti bagi orang lain”, tapi saya sejujurnya tidak merasa begitu. Kebahagiaan terbesar saya adalah saat berhasil mengekspresikan diri saya lewat sesuatu dan membuat diri saya berarti bagi diri sendiri. Kalau ada orang lain yang mengapresiasi dan terkena efek positif dari apa yang saya lakukan, bagus; tapi itu bonus buat saya, bukan hal utama yang saya cari. Makanya, kebanyakan seniman (penulis/pelukis/musisi/dll) berasal dari kalangan introvert, khususnya mereka yang tujuan utamanya berkarya memang untuk pengekspresian diri sendiri demi kepuasan pribadi. 

                ~Saya agak kikuk berinteraksi fisik (berpegangan, peluk, cium, dsb.) dan selalu merasa konyol sewaktu harus ikut yel-yelan, bertepuk tangan bersama, atau mengeluarkan “pose-pose motivasi”. Hal-hal yang tujuannya untuk mengeratkan spirit komunal itu nggak pernah berarti banyak bagi saya. 

                ~Saya nggak menyenangi ritual (upacara bendera, pernikahan, pemakaman, kelulusan, dll) dan kalau memungkinkan selalu memilih untuk nggak menjalankannya, atau paling nggak membuatnya sesederhana mungkin. 

                Ya, jadi itulah hal-hal utama yang saya dan teman saya rasakan. Tentunya, saya nggak jamin semua hal di atas itu adalah ciri introvert atau setiap introvert pasti merasakan semua itu. Hanya sebatas sharing dan usaha penjelasan dari apa yang sering kali disalahpahami oleh kebanyakan orang =)

                Untuk para introvert di luar sana yang masih galau identitas: jalani hidup sesuai yang kamu yakini. Buat dan hasilkan sesuatu. Selalu ambil keputusan akhir dari apa yang kamu benar-benar yakini. Tapi, tetap terima dan dengar masukan pendapat orang lain. Cari orang-orang yang bisa sepaham dan mengerti kamu, pertahankan orang-orang itu. Dunia memang bukan milik kita sendiri, tapi  bukan berarti kita harus mengorbankan jati diri untuk bisa hidup di dunia ini.