Tuesday, May 28, 2013

Happy Ending, Sad Ending, & Good Ending


Dulu sewaktu kecil, saya maunya setiap cerita harus happy ending. Jagoannya harus menang, semua yang baik harus selamat di akhir cerita dan penutupnya harus berembel-embel "...dan mereka pun hidup bahagia selamanya." atau sejenisnya. Mungkin karena waktu itu saya merasa kalau gunanya fiksi itu untuk eskapisme atau pelarian. Hidup kan tidak selalu seperti apa yang kita inginkan, jadi buat apa fiksi yang ujung-ujungnya tidak beda jauh dengan kehidupan nyata? Begitulah pemikiran saya waktu itu. Dulu, saya paling anti cerita semodel Romeo & Juliet, yang setelah dibaca langsung buat saya berpikir (*spoiler buat yang nggak pernah baca/nonton): "Buset, ngapain si penulisnya capek2 buat cerita sepanjang ini kalau akhirnya si dua tokoh utamanya mati tragis??"

Lalu, selera saya mulai berubah seiring dengan bertambahnya umur dan makin terbentuknya pemikiran (*baca: makin sok tahu). Saya mulai menemukan cerita-cerita yang tidak berakhir dengan happy, tapi entah kenapa tetap terasa bagus. Agak lupa cerita-cerita apa saja yang menginspirasi saya itu, tapi yang jelas salah satunya Robohnya Surau Kami; cerpen yang pertama kali saya baca di buku pelajaran Bahasa Indonesia SD (atau SMP? Agak lupa) dan langsung meninggalkan kesan yang mendalam. Lama-kelamaan, saya pun semakin tertarik mencari cerita yang berakhir sedih, tragis atau tidak menyenangkan. Di sinilah saya menemukan fungsi nyata lainnya dari fiksi: sebuah refleksi alih-alih eskapisme. Sikap sok anti-mainstream pun terbentuk; saya mencap jelek dan meremehkan cerita-cerita yang happy ending, serta mengagung-agungkan para penulis cerita yang mau mengambil risiko membuat pembaca jengkel dengan sad ending.

Tapi, pemikiran semacam ini juga salah.

Akhirnya, setelah saya mulai kuliah dan memperluas referensi bacaan, barulah saya perlahan paham akan sesuatu; kualitas ending sebuah cerita bukan semata diukur dari apakah itu adalah happy ending atau sad ending. Baik happy ending ataupun sad ending tidak masalah, yang penting adalah apakah ending itu terjadi secara alami selepas keseluruhan proses cerita. Bukan asal bahagia atau asal tragis saja. Kalau happy ending, apakah tokoh-tokoh dalam cerita itu memang layak mendapatkannya? Kalau sad ending, apakah ada makna di balik itu atau hanya sekedar sok kejam saja?

Saya pun kembali diingatkan tentang hal itu setelah menonton film ini:



(spoiler buat yang belum nonton filmnya):

Dari aspek plot, film ini sangat biasa sebenarnya. Konfliknya klasik dan alurnya sangat mudah ditebak: seorang single father dan anaknya yang masih kecil berjibaku di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan sebelum akhirnya berhasil merubah nasib di akhir film. Ini jenis cerita yang dulu sempat saya benci dan remehkan, dan sejujurnya film ini memang masih banyak kekurangan. TAPI, ada sesuatu pada eksekusi penceritaannya yang membuat film ini memiliki nilai lebih dibanding film sejenisnya. Tampan Tailor berakhir dengan Happy Ending yang sebenarnya sudah bisa ditebak sebelumnya (bukan sekedar Happy Ending malah, tapi Super Duper Ultra Happy Ending), tapi saya pribadi beranggapan bahwa ini jenis Happy Ending yang bagus karena proses yang terjadi sebelumnya berhasil meyakinkan para penonton bahwa tokoh-tokoh utama di film ini memang layak mendapat ending itu.

Contoh lainnya begini: anggaplah ada dua jenis cerita dengan konflik yang sama. Cerita A mengisahkan keluarga miskin yang kerjanya sehari-hari bermalas-malasan dan adu mulut, tetapi berhasil merubah nasib setelah memenangkan undian lotere. Cerita B juga mengisahkan sebuah keluarga miskin, tapi menunjukkan perjuangan dan rasa kekeluargaan mereka sehari-hari hingga akhirnya mereka berhasil merubah nasib berkat jerih-payah tersebut. Sama-sama happy ending, tapi proses narasi di Cerita B jelas jauh lebih memuaskan.

Begitulah. Ending pada sebuah cerita memang bukan segalanya, tapi tetap penting karena biasanya ending ceritalah yang akan meninggalkan kesan paling mendalam bagi penikmat cerita. Happy Ending bisa menjadi lebih dari sekedar klise dengan membuat kita berempati dan peduli pada nasib tokoh cerita, sedangkan Sad Ending bukan berarti semua yang terjadi sebelumnya jadi nggak ada artinya. Jadi, yang penting bukanlah Happy Ending atau Sad Ending, tapi apakah itu adalah sebuah Good Ending.