Sunday, April 11, 2021

Tantangan Film 2021 #5: Set It Up

Pada dasarnya, saya cenderung omnivora soal film.

Maksudnya, saya cukup terbuka untuk nonton segala jenis film. Baik itu film keluaran studio besar maupun indie... dari Indonesia, Amerika, Jepang, maupun planet Mars... atau berupa film aksi laga, komedi, misteri, dll. Tapi tidak bisa dipungkiri, kalau soal genre saya ujungnya punya preferensi sendiri.  Nah, sesuai ungkapan 'cobalah keluar dari zona nyaman', jadi untuk tema kali ini pun saya nonton 'film dari genre yang kurang disukai'.  

Salah satu genre yang jarang saya minati adalah komedi romantis; alias tipe film dengan pasangan muda-mudi yang bertemu secara imut-imut, dekat melalui berbagai kekoplakan, berantem karena konflik menjelang akhir, dan akhirnya berdamai untuk hidup bahagia bersama selamanya. Bukannya saya anti komedi atau romansa, tapi jenis film begini terlalu mudah ditebak, dan sering menampilkan dialog, peristiwa, dan gaya hidup yang rasanya amat jauh dari kehidupan sehari-hari saya :v 

Walau begitu, pada akhirnya yang menentukan adalah eksekusi. Ada juga film-film komedi romantis yang bisa saya sukai, seperti Punch Drunk Love besutan sutaradara Paul Thomas Anderson dan Jomblo-nya Hanung Bramantyo. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini, rasanya belum ada lagi film sejenis ini yang melelehkan hati beku saya... jadi mari kita coba judul anyar dari negeri Paman Sam: Set It Up.
    


Set It Up (2018)

Sutradara: Claire Scanlon
Durasi: 105 menit
Pemeran: Zoey Deutch, Glen Powell, Lucy Liu, Taye Diggs
Staf Kunci: Katie Silberman (penulis naskah); Matthew Clark (sinematografi); Laura Karpman (musik); Wendy Greene Bricmont (editing)
Distributor: Netflix. (bisa ditonton di layanan streaming Netflix)

Film ini dibuka dengan montase menggelitik yang menunjukkaan keseharian para asisten eksekutif penting. Mulai dari mengantarkan air urine bos ke dokter hingga mengurusi konflik rumah tangga si bos, rangkaian adegan ini menunjukkan bagaimana asisten-asisten tersebut mengabdikan hari-hari untuk mengurusi segala aspek personal dan profesional bos mereka. Lalu, fokus menyempit kepada dua orang-muda-mudi, Harper (diperankan oleh Zoey Deutch) dan Charlie (Glen Powell), yang masih bekerja sampai larut malam melayani bos mereka. Setelah pertemuan tidak sengaja, mereka akhirnya menelurkan rencana untuk menjodohkan bos masing-masing, Kirsten (Lucy Liu) dan Rick (Taye Diggs). Harapannya, kalau kedua bos yang gila kerja itu saling kasmaran, Harper dan Charlie juga akan terbebas punya waktu luang lebih banyak untuk kehidupan pribadi mereka.

Ini jenis film yang target audiensnya orang-orang seperti Harper dan Charlie: karyawan kantoran generasi milenial yang bekerja di pusat perkotaan, berkencan dan memesan makanan melalui aplikasi online, serta biasa lembur hingga malam di kantor atau menghabiskan berjam-jam di kafe dengan wi-fi. Di balik nuansa komedi saat Harper dan Charlie lintang-pukang dengan tuntutan pekerjaan dan bos, ada kegelisahan juga karena mereka sama-sama merasa stagnan dengan kehidupan asmara maupun jalur karier masing-masing. Rasanya, para pekerja kota metropolitan bisa berempati dengan hal tersebut.


(bagian ini akan membahas bocoran tentang perkembangan cerita filmnya)

Seperti harusnya sudah bisa ditebak oleh penonton veteran: inti filmnya bukan soal apakah bosnya Harper dan Charlie bisa berjodoh, tapi bagaimana malah Harper dan Charlie yang saling jatuh hati satu sama lain. Skenario klasik lah. Bagusnya, soal pekerjaan tidak hanya jadi tempelan, melainkan aspek penting dalam perkembangan karakter mereka. Harper ingin mengikuti jejak bosnya sebagai jurnalis olahraga ternama tetapi belum berhasil menulis artikel apa pun, sedangkan Charlie gundah menunggu promosi yang tak kunjung datang sementara dirinya terus dipandang remeh sebagai asisten. Kegundahan-kegundahan tersebut ditampilkan dengan cukup baik, khususnya mendekati akhir film.

Sejujurnya, satu jam pertama film ini cukup menyebalkan bagi saya. Komedinya lebih banyak adegan garingnya daripada lucunya (terutama adegan lift saat Harper dan Charlie berusaha mengatur pertemuan imut antara bos mereka), sementara kedua tokoh utama kita belum sadar kalau yang mereka lakukan itu sebenarnya toxic. Untunglah, filmnya berakhir cukup baik dengan menyadarkan Harper dan Charlie bahwa untuk memperbaiki situasi mereka yang tidak memuaskan, yang harus diubah adalah niat kemauan pada diri sendiri dan bukannya melalui skenario percomblangan dan settingan gaje.  


Secara teknis, film ini masih banyak kekurangannya di mata saya. Tokoh pendukungnya cenderung menjurus karikatur dan hanya memenuhi perannya sesuai tuntutan naskah, seperti menjadi penggembira lucu-lucuan atau memberikan dialog motivasi kepada tokoh utama di saat yang tepat (walau rasanya tetap senang sih melihat Lucy Liu beraksi lagi di layar). Meski 105 menit tidak tergolong kepanjangan untuk ukuran film modern, saya tetap merasa filmnya masih bisa dipangkas setengah jam lagi supaya lebih padat; toh alur perkembangannya sudah lumayan jelas tertebak (sebenarnya akan lebih alami dan menarik kalau Harper dan Charlie dijadikan sahabat saja, tapi namanya juga tuntutan genre).  

Pada akhirnya, buat penggemar komedi romantis, rasanya Set It Up bisa jadi tontonan menyenangkan atau bahkan sumber inspirasi. Paling tidak, ada pesan positif untuk serius mengejar aspirasi berkarier, dan bahwa momen romantis tidak harus dengan bersantap di restoran mewah sambil berbusana bling-bling, melainkan bisa dengan nongkrong di kamar, bercanda tawa lepas, dan makan satu boks pizza dibagi berdua.