Saturday, March 27, 2021

Tantangan Film 2021 #4: Wolfwalkers

 Ada film yang menampilkan peristiwa sejarah dengan seakurat mungkin sesuai data fakta. Ada yang menampilkan peristiwa sejarah, tapi dengan bumbu narasi fiktif yang didramatisir. Ada yang… mengambil konflik bersejarah, mengubah drastis hasilnya, dan menambahkan elemen seperti manusia serigala di hutan.

Yang terakhir itulah yang jadi tema tantangan kali ini (‘film dengan revisi sejarah’): Wolfwalkers, karya animasi Irlandia dari studio Cartoon Saloon.


Wolfwalkers (2020)

Sutradara: Tomm Moore, Ross Stewart
Durasi: 103 menit
Pengisi Suara: Honor Kneafsey, Eva Whittaker, Sean Bean, Simon McBurney, Maria Doyle Kennedy
Staf Kunci: Will Collins (penulis naskah); Tomm Moore, Ross Stewart (pengarang cerita); Bruno Colais, Kila (musik); Richie Cody, Darren Holmes, Darragh Byrne (editing)
Studio Animasi: Cartoon Saloon, Melusine
Distributor: Wildcard/Apple Inc. (bisa ditonton di layanan streaming Apple+)

Wolfwalkers melengkapi trilogi tidak resmi Cartoon Saloon setelah Secret of the Kells dan Song of the Sea. Walau tidak terhubung langsung secara narasi, ketiganya memiliki akar serupa pada sejarah dan folklor Irlandia, negara dengan kekayaan alam dan mitologi yang berlimpah. Walau biasanya saya lebih suka karya animasi dari negara timur (khususnya Jepang—maklum weaboo :v) ketimbang barat, Cartoon Saloon bisa dibilang salah satu studio animasi favorit saya dengan gaya visual dan penuturan cerita yang konsisten di papan atas. Karya mereka juga punya ciri khas kuat, dan kali ini Tom Moore dkk. memadupadankan mitologi manusia serigala di hutan Irlandia dengan sejarah penaklukan negara itu oleh jenderal Inggris yang dijuluki 'Lord Protector' (jelas mengacu kepada tokoh sejarah Oliver Cromwell).

Seperti banyak film animasi masa kini, Wolfwalkers memilih anak perempuan sebagai protagonisnya: Robyn, anak gadis dari pemburu yang ditugaskan Lord Protector untuk ‘membersihkan’ hutan Irlandia dari kawanan serigala terakhir. Robyn yang bersemangat ingin membantu ayahnya, kemudian bertemu dengan gadis serigala, Mebh, yang kemudian mengubah jalur kehidupan mereka berdua untuk seterusnya…

Satu hal yang jelas harus disebut pertama: bangun latar (Irlandia abad ke-17), desain karakter, dan teknik animasi dari film ini masuk level dewa. Mayoritas film ini digambar tangan dengan sentuhan efek 3 dimensi di sejumlah momen krusial, pilihan warna yang cemerlang, serta penampakan objek yang begitu elastis dan kaya tekstur. Ada banyak ragam nuansa visual pada film ini yang ditampilkan sama baiknya, baik itu pemukiman ramai penduduk dengan warna cerah, maupun hutan pada malam hari dengan nuansa mistis, misterius, dan dipenuhi semburat warna gelap. Lalu, ada bagian animasi yang bisa dibilang paling mencolok dari film ini: wolf vision atau visualisasi dari sudut pandang serigala. 

Adegan 'penglihatan serigala' tersebut tak hanya impresif dari segi teknis (memakan banyak sekali waktu dan tenaga untuk digambar di ribuan lembar kertas, demi efek surreal yang autentik dan tak bisa ditiru efek komputer), tapi juga membuat momen narasi penting jadi kian terasa hidup dan seru. Tentunya, unsur audio juga berperan penting memperkuat estetika film ini, dan saya pun sangat menikmati lantunan musik folk khas Irlandia dengan tembang 'Running with the Wolves' sebagai lagu tema. Lagu ini dikomposisi dan dinyanyikan oleh Aurora, musisi Norwegia yang aura dan musikalitasnya sangat pas dengan jenis film seperti ini.


Lantas, ceritanya sendiri bagaimana? Seperti karya Cartoon Saloon lainnya, Wolfwalkers kaya dengan tema. Ada tema besar soal identitas kebangsaan, kolonialisme, pelestarian lingkungan hidup, serta isu spesifik terkait Irlandia, maupun tema yang lebih personal seperti hubungan ayah dengan anak perempuannya (mengingatkan saya pada film Cartoon Saloon di luar trilogi Irlandia ini, The Breadwinner, yang berlatar di Afghanistan). Walau demikian, padatnya tema bukan berarti filmnya jadi susah dicerna atau terlampau sulit untuk anak-anak (atau orang dewasa yang malas mikir :v). Berbagai elemen tersebut disampaikan secara halus tanpa didiktekan ke penonton atau jadi memperlambat cerita, disokong oleh kinerja jempolan para pengisi suara; khususnya Honor Kneafsey sebagai tokoh utama, Sean Bean sebagai ayahnya, dan Eva Whittaker sebagai si gadis serigala. Mereka mampu elegan membawakan pesan sentral tentang persahabatan dan upaya saling memahami tanpa memandang perbedaan.

Dengan kata lain, penonton bisa menyimak serius unsur-unsur sosiopolitik di filmnya, dan bisa juga menikmati dengan hanya fokus ke inti cerita dan karakternya. Bagi peminat sejarah, akan menarik melihat bagaimana Wolfwalkers menggambarkan Oliver Cromwell dan merevisi hasil akhir dari upayanya menaklukkan tanah Irlandia. Ini jelas revisi 'indah' yang hanya bisa terjadi di dunia dongeng, tapi mau tak mau saya jadi turut berangan-angan... alangkah lebih baiknya dunia kalau generasi mudanya seperti Robyn dan Mebh!

Bagi dunia film animasi, 2020 adalah tahun yang bagus. Ada tiga film luar biasa dari beragam kultur yang dirilis pada tahun itu: A Whisker Away, Soul, dan Wolfwalkers. Soul jelas yang paling 'punya nama' dengan pesan yang amat relevan di masa sekarang, A Whisker Away punya pesona khas animasi Jepang dan karakter-karakter yang patut disayangi, sedangkan Wolfwalkers paling impresif dari segi visual dan rasanya akan terus memberikan hal baru saat ditonton ulang. Semoga ke depannya, akan terus banyak film animasi dengan kreativitas, kualitas, dan pesona seperti judul-judul ini... 

Sunday, March 14, 2021

Tantangan Film 2021 #3: Inhuman Kiss

Dari Israel, saya berlanjut ke Negeri Gajah Putih untuk memenuhi tantangan nonton berikutnya: 'film dari Thailand'. Tema ini disumbang oleh sobat nonton saya, Dion, penggemar film Thailand merangkap fanboy aktris Pimchanak 'Baifern' Luevisadpaibul. Dibanding dia, jam terbang saya nonton film Thailand jauh lebih sedikit; saya hanya pernah nonton Shutter dan Bad Genius, tapi saya suka dua-duanya (terutama Bad Genius yang merupakan salah satu film favorit saya dalam beberapa tahun terakhir). Jadi, saya lumayan bersemangat untuk mengeksplorasi lagi khasanah perfilman negara ini.

Setelah mengobok-obok katalog film Thailand di Netflix (yang koleksi film Asia Tenggaranya cukup oke), pilihan akhirnya jatuh kepada film horor Inhuman Kiss


Inhuman Kiss (2019)

Sutradara: Sitisiri Mongkolsiri
Durasi: 122 menit
Pemain: Phantira Pipityakorn, Oabnithi Wiwattanawarang, Sapol Assawamunkong, Surasak Wongthai
Staf Kunci: Chukiat Sakveerakulr (penulis naskah); Pithai Smithsuth (sinematografi);  Pithai Smithsuth (musik); Manussa Vorasingha, Abhisit Wongwaitrakarn (editing)
Distributor: M Pictures/Netflix (bisa ditonton di website Netflix)

'Bintang utama' film ini adalah krasue, arwah kepala wanita terbang dengan untaian organ-organ di bagian bawahnya. Bagi penggemar film horor Indonesia, pastinya sudah lumayan familiar dengan jenis hantu ini, yang di sini kita sebut 'pelasik'. Rupanya sosok ini bisa dibilang 'milik bersama' kawasan Asia Tenggara, karena banyak negara yang memiliki legenda tentangnya dengan versi masing-masing. 

Krasue dalam film ini dikisahkan tengah meneror sebuah desa pada periode 1940-an di Thailand, dengan memangsa hewan ternak para penduduk di malam hari. Di desa ini, tinggal gadis remaja bernama Sai (Phantira Pipityakorn), yang tumbuh bersama  teman-teman masa kecilnya, Jerd (Sapol Assawamunkong), Noi (Oabnithi Wiwattanawarang), dan Ting (Darina Boonchu). Pada suatu hari, Noi yang sudah lama meninggalkan desa, pulang kampung bersama pasukan pemburu krasue yang dipimpin seorang pria tua obsesif, Tad (Surasak Wongthai). Cerita berkembang menjadi roman cinta segitiga antara Sai, Noi, dan Jerd, sementara perburuan krasue terus berlanjut dan rahasia kelam pun satu-persatu terkuak...


Satu hal yang mungkin perlu dicamkan calon penonton film ini: jangan berekspektasi akan nonton film horor 'konvensional' yang bikin merinding atau jerit-jerit ala orang kesurupan. Malah, saya merasa ini sebenarnya film romansa dengan bumbu makhluk horor, bukan sebaliknya. Selain di adegan pembuka yang lumayan mencekam, jarang ada trik film horor pada umumnya untuk mengagetkan atau menakut-nakuti penonton dengan jump scare, musik seram, dan sebagainya. Adegan menegangkan dari pertengahan filmnya juga bisa dibilang lebih menjurus thriller daripada horor.

Bukannya berarti film ini mengecewakan, justru ada pendekatan unik dengan lebih menekankan pada hubungan antarkarakternya. Apalagi, Inhuman Kiss mendekonstruksi sosok krasue dan nuansa horor yang identik dengannya secara menarik. Alih-alih balas dendam dan pertumpahan darah, krasue di sini dipakai untuk merefleksikan sisi lembut dari suatu 'monster' dan kisah cinta tanpa syarat antara manusia dan monster tersebut.
      

Satu hal yang saya apresiasi: film ini tidak memanjang-manjangkan misteri tentang identitas sosok krasue yang menghantui desa, yang dari awal sangat mudah ditebak. Pengungkapannya  dilakukan secara cepat, sehingga ada banyak waktu untuk mengeksplorasi penderitaan sang krasue dan ketulusan seorang pemuda yang berusaha membantu menyembunyikan identitasnya. Penonton jelas diposisikan untuk berada di pihak mereka, bukannya sebagai pihak yang merasa ngeri dengan si krasue. Dialog dan/atau akting para pemainnya tidak selalu berhasil menggugah, tapi pembangunan atmosfer dan naik-turunnya ketegangan cerita berhasil membuat saya konsisten terhanyut sepanjang film.

Tema tentang simpati terhadap sosok 'monster' dan kisah asmara antara manusia dengan 'monster' sebenarnya bukan hal baru dari sejak zamannya Frankenstein hingga Twilight. Namun, yang jadi tantangan tersendiri di sini adalah bagaimana 'memanusiawikan' krasue, sosok yang citranya mengerikan nan menjijikkan (masih jauh lebih gampang menampilkan vampir kece, misalnya, dibanding kepala cewek yang melayang-layang dengan organ masih gelantungan). Di sinilah tata artistik dan efek visual sangat berperan, dan sukses menampilkan sosok krasue yang semakin lama semakin terlihat memukau dalam ketragisannya. Estetika visual filmnya memang menonjol, dari pemilihan warna yang indah dan halus, hingga adegan klimaks luar biasa dengan efek laga yang tidak kalah dahsyat dibandingkan film superhero Barat.


Memang ada beberapa elemen dalam naskahnya yang rasaya bisa lebih dipoles lagi; saya sendiri ingin melihat lebih banyak adegan masa kecil, tidak hanya sekali di awal. Namun, pada dasarnya nuansa dan pendekatan yang dipilih filmnya sudah bagus, menghasilkan suatu roller coaster emosional dengan sosok monster yang menyedihkan...