Friday, March 22, 2013

Seorang Gadis Sempurna di Pagi Hari Bulan April



 Post kali ini, saya ingin share sebuah cerita pendek dari Haruki Murakami, seorang penulis level internasional yang sudah menerbitkan sejumlah novel dalam bahasa Inggris (Norwegian Wood, Kafka on The Shore, Sweetheart Sputnik,dll.) Murakami itu gaya menulisnya sangat khas; jenaka dan luar biasa kreatif, penuh melankolia tapi tidak mendayu-dayu, dan seringkali bermain-main dengan realita dan unsur magis (bahasa kerennya, magical realism). Perkenalan saya dengan Murakami dimulai dari cerita pendek ini, yang langsung membuat saya tertarik untuk mencari karya-karyanya yang lain =)

Berikut ini adalah versi terjemahan yang saya buat beberapa tahun lalu dalam rangka latihan (versi aslinya dalam bahasa Inggris bisa ditengok di sini): 

"Seorang Gadis Sempurna di Pagi Hari Bulan April"

Oleh Haruki Murakami
Diterjemahkan oleh Muhammad Yesa Aravena


            Pada suatu pagi yang indah di bulan April, di jalanan sempit kawasan Harajuku, Tokyo, aku melihat seorang gadis yang 100% sempurna.

            Jujur, dia tidak begitu cantik....dan bahkan tidak menonjol dari segi manapun. Pakaiannya biasa saja. Rambutnya masih acak-acakan khas orang baru bangun tidur. Ia juga sudah tidak muda lagi—sepertinya sudah mendekati umur kepala tiga, dan sebenarnya kurang pantas kalau masih disebut “gadis”. Namun, bahkan dari jarak 50 meter sekalipun, aku langsung menyadari bahwa ia adalah gadis yang 100% sempurna bagiku. Tepat begitu aku melihatnya, jantungku berhenti berdetak selama sekejap, dan mulutku terasa kering bagaikan padang pasir.

            Mungkin kau juga memiliki tipe ideal tertentu: misalnya yang berdada montok, yang bermata belo, yang berjari-jari lentik, atau mungkin entah kenapa kau tertarik pada gadis yang cara makannya lambat dan anggun. Pernah suatu ketika, aku tidak bisa berhenti memandangi seorang gadis di restoran karena aku menyukai bentuk hidungnya. 

            Namun menurutku, tidak ada parameter yang dapat benar-benar menjelaskan kenapa orang bisa merasa bahwa seorang gadis terasa 100% sempurna bagi dirinya. Bentuk hidung memang penting bagiku, namun kembali ke soal gadis yang kutemui itu, aku bukannya terpesona oleh bentuk hidungnya. Bahkan kalau dipikir-pikir, aku malah tidak ingat hidungnya seperti apa. Satu-satunya hal yang kuyakini adalah bahwa ia benar-benar biasa-biasa saja secara fisik. Aneh. 

            “Kemarin di jalan aku melihat seorang gadis yang 100% sempurna”, aku bercerita dengan berapi-api kepada seorang teman.

            “Oh iya?” responsnya. “Cantik ya?”

            “Tidak juga.”

            “Tipemu? Seperti apa dia?”

            “Hem....tidak tahu. Aku bahkan tidak bisa benar-benar ingat dia seperti apa—bentuk matanya atau ukuran dadanya.”

            “Aneh.”

            “Iya. Aneh.”

      “Lalu....”, ia melanjutkan, mulai nampak kehilangan minat. “Apa yang kau lakukan? Menyapanya? Mengajaknya jalan? Mengikutinya?”

            “Aku tidak melakukan apa-apa, hanya berpapasan saja dengannya di jalan.”

            Saat itu, aku sedang berjalan dari barat ke timur, dan ia dari timur ke barat. Di bawah matahari pagi bulan April yang cerah.

            Seandainya saja aku bisa mengobrol dengannya. Setengah jam saja cukup: aku bisa menanyakan mengenai dirinya, lalu bercerita tentang diriku sendiri, dan yang paling penting—menyampaikan kepadanya bagaimana aku sangat berterima kasih kepada takdir yang telah membuat aku dan dia saling berpapasan di sisi jalan Harajuku, pada pagi hari April yang indah tahun 1981. Hal itu pastilah terasa seperti mengungkapkan rahasia yang terasa murni dan hangat, bagaikan mengingat kembali konstruksi jam-jam kuno ketika dunia masih belum mengenal perang.

            Setelah mengobrol, kita akan pergi makan siang di suatu tempat, lalu mungkin nonton film Woody Allen, dan akhirnya mengunjungi bar hotel untuk minum koktail. Dengan sedikit keberuntungan, kita akan mengakhiri hari di tempat tidur.

            Hanya sekedar membayangkan potensi hal-hal yang dapat terjadi, jantungku sudah seperti mau copot.

            Saat itu, ketika jarakku dengan dia tinggal 15 meter, aku mulai gelisah. Bagaimana aku menyapanya? Apa yang harus kukatakan? Aku mulai membayangkan berbagai kemungkinan dalam kepalaku.

            “Pagi, Nona. Boleh minta waktunya setengah jam saja untuk ngobrol?”

            Konyol—kesannya aku malah seperti salesman.

            “Permisi. Maaf, saya ingin numpang tanya: di sekitar sini ada mesin cuci umum 24 jam tidak ya?”

            Tidak, tidak, ini juga sama konyolnya. Aku sama sekali tidak sedang membawa baju kotor untuk dicuci. Siapa juga yang sebegitu bodohnya bisa percaya kalau aku benar-benar sedang ingin mencuci baju?

            Mungkin sebaiknya aku jujur saja. “Selamat pagi...kamu adalah gadis yang 100% sempurna bagiku.”

            Tidak, mana mungkin dia menganggap serius ucapanku itu. Kalaupun dia tidak langsung kabur, jelas dia tidak akan mempercayaiku. Atau yang lebih parah lagi, ia mungkin akan berkata seperti ini: Maaf, mungkin memang benar aku gadis yang 100% sempurna bagimu, tapi kau bukan lelaki yang 100% sempurna bagiku. Dan kalau misalnya aku benar-benar berada dalam situasi seperti itu, aku jelas akan hancur berkeping-keping. Aku tidak akan bisa pulih lagi. Umurku sudah 32, dan begitulah yang akan terjadi dalam usia setua ini.

            Kami sama-sama melewati toko bunga. Udara yang hangat terasa menyengat kulitku. Aspal jalanan terasa lembap, dan aku mencium wangi bunga mawar. Aku tidak bisa memberanikan diri mengajaknya bicara. Ia mengenakan baju hangat berwarna putih, dan tangan kanannya menggenggam sebuah amplop surat putih yang belum ditempel perangko. Jadi: ia baru saja menuliskan sepucuk surat kepada seseorang, dan mungkin semalaman, kalau melihat dari matanya yang masih ter lihat mengantuk. Amplop surat itu mungkin saja berisi segala rahasia mengenai dirinya. 

            Aku bergerak cepat melewatinya, dan setelah beberapa langkah, aku menengok. Ia sudah hilang ditelan kerumunan.

***

            Sekarang, aku sudah tahu apa yang seharusnya kukatakan kepadanya. Namun, akan panjang jadinya, terlalu panjang untuk bisa kusampaikan dengan baik. Dari berbagai langkah yang sudah kupikirkan, tidak ada yang benar-benar terasa efektif.

            Ah, persetan. Intinya, aku akan menceritakan sesuatu kepadanya, diawali dengan “Pada suatu waktu...” dan mengakhirinya dengan “Sungguh kisah yang sedih, ya?”

           
            Pada suatu waktu, hidup seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berumur 18 sedangkan sang gadis berumur 16. Si  pemuda tidak begitu tampan, dan si gadis juga tidak begitu cantik. Mereka hanyalah pemuda dan gadis yang sama-sama kesepian, seperti banyak orang lainnya. Namun, mereka mempercayai bahwa di suatu tempat ada jodoh mereka, seseorang yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya kepada mukjizat. Dan mukjizat itu kemudian benar-benar terjadi.

            Suatu hari, mereka berdua saling berpapasan di jalan.

            “Ini sungguh luar biasa”, kata sang pemuda. “Aku telah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna bagiku.”

            “Dan kau,” kata sang gadis, “adalah lelaki yang 100% sempurna bagiku. Persis seperti yang kubayangkan selama ini. Ini bagaikan mimpi.”

            Mereka duduk di bangku taman, berpegangan tangan, dan saling bertukar cerita selama berjam-jam. Mereka tidak lagi sendirian. Sungguh suatu hal yang menakjubkan bahwa dua orang dapat saling menemukan orang yang 100% sempurna bagi diri mereka masing-masing. Ini adalah keajaiban, sebuah keajaiban alam.

            Namun, selagi mereka saling bercakap-cakap, benih-benih keraguan mulai tumbuh di hati mereka masing-masing. Apakah memang benar semudah ini mimpi dapat menjadi kenyataan?

            Lalu, ketika akhirnya muncul jeda dalam percakapan mereka, sang pemuda berkata begini kepada sang gadis: “Mari kita uji diri kita—sekali saja. Kalau misalnya kita memang benar-benar saling merasa 100% sempurna, suatu saat waktu akan mempertemukan kita kembali. Dan di saat itu, di saat kita benar-benar yakin kita saling merasa 100% sempurna, kita akan menikah. Bagaimana?”

            “Ya,” ia berkata. “Aku setuju.”

            Maka, mereka pun berpisah, sang gadis berjalan ke timur, sedangkan sang pemuda ke barat.

            Namun, ujian yang telah mereka sepakati sebenarnya sama sekali tidak perlu. Mereka seharusnya tidak melakukan hal itu, apalagi setelah keajaiban yang telah mempertemukan mereka. Namun, di usia mereka yang masih muda, mereka tidak menyadarinya. Roda takdir yang dingin dan tak kenal ampun pada akhirnya menggilas mereka.

            Di sebuah musim dingin, baik sang pemuda dan sang gadis terserang wabah flu berat, dan setelah beberapa minggu terombang-ambing antara kehidupan dan kematian, mereka kehilangan ingatan masing-masing akan pertemuan mereka sebelumnya. Ketika pulih, hati mereka terasa hampa dan kosong bagaikan celengan babi yang belum diisi.  

            Mereka berdua sama-sama merupakan orang muda yang cerdas dan penuh semangat, sehingga mereka pada akhirnya tumbuh menjadi anggota masyarakat yang berguna. Sungguh merupakan suatu anugerah besar, bahwa mereka menjadi anggota masyarakat yang hafal jalur kereta bawah tanah, ataupun tahu bagaimana caranya mengirimkan paket khusus lewat kantor pos! Bahkan, mereka pun kembali merasakan cinta, kadang hingga 75% ataupun 85%.

            Waktu berlalu dengan begitu cepat, dan sang pemuda telah berumur 32, sedangkan sang gadis sudah 30.

            Pada suatu pagi hari bulan April yang indah, ketika sedang mencari kedai kopi sebelum memulai hari, sang pemuda berjalan dari barat ke timur, sedangkan sang gadis yang membawa secarik surat berjalan dari timur ke barat, di sisi jalan yang sama di kawasan Harajuku, Tokyo. Mereka saling berpapasan di tengah-tengah sisi jalan itu. Setitik sisa kenangan yang terlupakan muncul kembali di dalam hati mereka masing-masing. Mereka merasakan getaran dalam dada masing-masing. Dan mereka pun tersadar.

            Ia gadis yang 100% sempurna untukku.

            Ia lelaki yang 100% sempurna untukku.

            Namun, nyala kenangan mereka terlalu lemah, dan pikiran mereka tidak lagi sespontan 14 tahun yang lalu. Tanpa berkata-kata, mereka terus berjalan dan saling menghilang ke tengah kerumunan. Selamanya.

            Sungguh kisah yang sedih, ya?


            ~Fin.

No comments:

Post a Comment