Pada sore hari tanggal 5 Maret
2013, Presiden Venezuela Hugo Chavez menghembuskan nafas terakhir. Dunia pun
kehilangan salah satu sosok visionaris yang telah menancapkan kuku taringnya di
peta politik dunia.
Saya pribadi
pertama kali mengetahui sosok Chavez saat membaca buku America’s Deadliest Export (Democracy –The Truth About US Foreign
Policy and Everything Else) karya seorang jurnalis William Blum.
Buku itu memaparkan secara gamblang mengenai borok-borok kebijakan politik luar
negeri Amerika Serikat, dan salah satu bagiannya berkisah tentang efek
destruktif dari kampanye demokrasi (alias “kolonialisme halus”) negara adidaya
itu di negara-negara Amerika Selatan/Latin yang kaya sumber daya alam. Di situ,
disebutkan bahwa Chavez, yang telah menjabat sebagai presiden Venezuela sejak
1999, adalah salah satu dari sedikit sosok berpengaruh di dunia yang
terang-terangan memposisikan diri sebagai musuh dari kebijakan Amerika.
Chavez
seorang yang keras, vokal, dan luar biasa berprinsip. Di saat sebagian besar
pemimpin dunia memilih menjadi diplomat taktis yang penuh kehati-hatian dan “main
belakang”, tidak pernah ada yang ambigu dari setiap sikap dan keputusan politik
Chavez—paling tidak di depan mata publik. Mungkin karakteristik itu bukan hal
yang bijaksana dan entah sudah berapa kali Chavez lolos dari percobaan
pembunuhan, tapi faktanya beliau berhasil terpilih sebagai pemimpin Venezuela
dalam empat periode berturut-turut sebelum akhirnya dikalahkan oleh penyakit
kanker yang sudah menggerogotinya sejak dua tahun terakhir (*seandainya tidak
wafat, Chavez akan terus menjabat hingga tahun 2019 dalam periode
kepresidenannya yang keempat).
Hugo
Chavez kecil, yang orangtuanya berprofesi sebagai guru sekolah, tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang penghasilannya pas-pasan. Kesulitan masa kecil ini
menjadi bibit pemikiran Chavez dan seiring dengan kariernya selanjutnya di
dunia militer, ia pun memproklamirkan diri sebagai seorang sosialis sejati
dengan Simon Bolivar sebagai tokoh panutannya. Begitu memegang tampuk kekuasaan
sebagai pemimpin Venezuela, Chavez tidak buang-buang waktu memaparkan rencana
ambisiusnya menjadikan negara itu sebagai “surga sosialis” sekaligus
menyampaikan pidato-pidato kontroversial mengenai kebusukan kapitalisme dengan
suaranya yang khas menggelegar.
Chavez
tidak hanya sekedar asal cuap-cuap. Ia juga pintar menggunakan aset sumber daya
minyak negaranya yang berlimpah sebagai senjata politik, sekaligus mengumpulkan
sekutu-sekutu regional seperti Evo Morales (Bolivia) dan Daniel Ortega
(Nikaragua). Pengaruh filosofi Chavez bukan hanya sebatas lingkup negaranya,
tapi juga menyebar di seluruh kawasan Amerika Latin dan mengubah peta
geopolitik benua itu selama satu dekade terakhir. Ia rajin menggalakkan
program-program sosial yang revolusioner, memandu acara talk show yang diisi langsung oleh dirinya, dan sangat pintar
memposisikan diri sebagai “salah satu dari rakyat.” Tak heran, ia sangat
dielu-elukan oleh simpatisan di negaranya dan sebagian kalangan di dunia internasional.
Namun,
dunia politik tidak pernah lepas dari keabu-abuan. Di balik imejnya yang sangat
populis, banyak pula kritikan pedas yang menerpa Chavez selama periode kepemimpinannya.
Ia dianggap gagal menangani perekonomian Venezuela, danwalaupun tingkat
pendapatan masyarakat memang meningkat selama eranya, peningkatan itu nyaris
tak berarti akibat melemahnya nilai uang Venezuela sendiri. Negara ini
mengalami inflasi sampai dua digit, lonjakan tingkat kriminalitas, dan terlalu
bergantung pada minyak sebagai sumber pendapatan negara—hal yang akan menjadi
masalah besar bila terjadi krisis harga di pasar global. Ironisnya
lagi, pada 2012 Venezuela tercatat sebagai negara Latin paling korup menurut survey
tahunan International Transparency (IT).
Di
tengah isak tangis, banyak pula yang diam-diam mensyukuri kepergian Chavez—dan sebagian
di antaranya dari kalangan orang Venezuela sendiri. Bukan rahasia umum lagi
bahwa Chavez tidak sungkan menekan media domestik yang berani mengkritik
kebijakannya, ataupun menggunakan strategi-strategi yang kurang elok untuk dapat terus memenangkan
pemilihan. Di saat kalangan oposisi tidak ada yang berdaya menjatuhkannya,
kanker yang akhirnya mengalahkan Chavez mungkin menjadi blessing in disguise bagi sebagian kalangan yang menginginkan
perubahan di Venezuela.
Terlepas
dari itu semua, kharisma dan kekuatan kepribadian Chavez telah menginspirasi sejumlah orang di dunia. Sulit
untuk menemukan sumber media yang dapat benar-benar objektif menilai Chavez,
dan mungkin kebenaran sebenarnya mengenai rezimnya tak akan pernah terungkap. Walau
begitu, saya memilih untuk percaya bahwa idealism dan segala impiannya untuk
memajukan Venezuela memang benar-benar tulus. Hugo Chavez tidak seharusnya "hanya" dikenang oleh dunia sebagai "si anti-Amerika", melainkan sebagai sosok patriot dengan segala kelebihan dan kekurangannya di tengah dunia politik yang sangat kompleks dan abu-abu.
Berikut
beberapa kutipan dari Chavez:
"Capitalism
is the way of the devil and exploitation. If you really want to look at things
through the eyes of Jesus Christ -- who I think was the first socialist -- only
socialism can really create a genuine society."
"Yesterday
the devil came here. Right here. And it smells of sulfur still today."(tentang
George Bush)
"Israel
criticizes Hitler a lot, so do we, but they've done something very similar,
even worse, than what the Nazis did."
“Christopher
Columbus was the spearhead of the biggest invasion and genocide ever seen in
the history of humanity."
“I am not the
devil”
Hugo Chavez
dipandang bagaikan malaikat oleh sebagian orang, ataupun setan berwajah
malaikat oleh kalangan lainnya. Saya memilih untuk melihat sosoknya sebagai
sang malaikat bersayap hitam.
Rest in peace,
Hugo Chavez….and good luck, Venezuela.
No comments:
Post a Comment