Entah sejak
kapan saya berminat untuk menekuni karier di bidang penerjemahan. Yang jelas, sewaktu kecil saya nggak paham
sama sekali apa itu konsep penerjemahan.
Di pikiran saya waktu itu yang lugu-lugu-tolol, kalau ada buku yang
bahasanya Indonesia ya berarti penulisnya pasti orang Indonesia. Nggak terpikir
di benak saya kalau sebenarnya ada perantara di balik proses transfer ide dan
konsep antara berbagai belahan dunia, yang menghubungkan dua latar belakang
bahasa dan kultur yang berbeda sehingga bisa saling memahami.
Baru setelah
menekuni kuliah di Program Studi Inggris, saya benar-benar akrab dengan
penerjemahan. Kebanyakan mahasiswa sastra atau bahasa harusnya tahu kalau menerjemahkan
itu salah satu sumber pemasukan sampingan paling potensial saat masa kuliah
(selain ngajar): lumayan profitable, bisa dikerjakan selagi
senggang jadwal perkuliahan, dan orderan nyaris nggak pernah sepi dari yang
minta diterjemahkan tesis makalah hingga proposal bisnis. Yang saya paling
suka, kompetensi penerjemahan pada dasarnya berbasis praktik alih-alih teori.
Setiap ada yang tanya ke saya tentang kiat-kiat penerjemahan, saya selalu
menjawab, “Banyak-banyak baca teks asing. Sering riset via internet. Tapi, di
atas segalanya: latihan, latihan, latihan, dan terus latihan.”
Saya
mengibaratkan penerjemahan itu seperti permainan catur: gampang dipelajari,
tapi susah untuk dikuasai. Di atas kertas, siapapun yang punya kompetensi dasar
bahasa pasti bisa menerjemahkan,
apalagi di zaman sekarang yang berbagai kamus sudah bisa diakses relatif mudah.
Pertanyaannya: apakah semua orang bisa menerjemahkan dengan baik? Apa semua orang bisa dengan mudah meniti karier jadi
seorang penerjemah? Jawabannya: tentu tidak.
Penerjemahan
membutuhkan kompetensi bahasa asing dan bahasa asal yang harus sama baiknya.
Perlu ketelitian dan kesabaran tingkat tinggi. Perlu wawasan yag hanya bisa
diperoleh dari banyak membaca. Perlu disiplin dan profesionalitas. Perlu waktu bertahun-tahun untuk terus memoles
semua itu. Semua orang mungkin bisa sesekali menerjemahkan, tetapi sejujurnya
memang tidak semua orang bisa berkarier sebagai penerjemah.
Saya sudah
sekitar tiga-empat tahun banyak berkecimpung dalam dunia penerjemahan, and I can honestly say that it is one of the
hardest and most stressful careers ever. Saya masih cenderung mati kutu
setiap menghadapi teks legal, yang sangat menuntut pengetahuan teknis. Saya
seringkali gigit jari menunggu bayaran yang nggak kunjung datang. Saya pernah
dicerca klien yang kurang puas dengan hasil terjemahan saya. Saya masih sering
kurang cermat dan banyak melakukan kesalahan-kesalahan tolol yang harusnya
sudah nggak terjadi lagi. Saya bahkan pernah salah perhitungan (baca: serakah)
dan menerima order di saat saya nggak dalam kondisi yang tepat untuk bisa
menyelesaikan order itu.
Saya nggak
malu mengungkapkan itu semua, karena memang kenyataannya nggak akan ada orang
yang bisa langsung jago dan sukses dalam apapun. Ini semua bagian dari proses. A really tough and bloody process, full of
sleepless nights and moments of frustration. I still have so much to learn and
improve. However, that awesome
feeling I got when I look at a completed text? That sense of adrenaline rush
when everything clicked and I can successfully transferred everything into
different language and culture?
That makes everything worth it.
That makes everything worth it.
No comments:
Post a Comment