Sewaktu
final kejuaraan Euro 2008 lalu antara Spanyol vs. Italia, saya nobar bersama
dua teman karib saya. Saat tim Italia memasuki lapangan, kami pun bernostalgia
mengenang masa 1990-an saat Liga Seri A Italia tengah jaya-jayanya dan sangat
digandrungi banyak orang Indonesia. Ya, waktu itu memang banyak sekali pemain
sepakbola Italia yang sangat kharismatik dan berkesan: Alessandro Del Piero,
Roberto Baggio, Franco Baresi, Paolo Maldini, Fransesco Totti, Gianfranco
Zola....memang sekarang Italia juga masih punya banyak pemain bagus, tapi entah
kenapa rasanya generasi sekarang kalah jauh daya magnetnya dibandingkan yang
generasi 90-an itu.
Obrolan
kami pun beralih ke satu topik: “Siapa pemain favorit lo sepanjang masa dari
Italia?” Teman saya yang pertama menjawab Del Piero, mungkin karena dia fans
berat Juventus. Teman yang kedua jawabannya Totti, mungkin karena dia fans AS
Roma. Saya berpikir sebentar, lalu
menjawab dengan mantap: Filippo Inzaghi.
Kedua
teman saya agak kaget. Kok Inzaghi? Ya, memang dia punya track record lumayan mantap: pernah juara Piala Dunia sekali, juara
Liga Champion dua kali, juara Liga Italia sekali, dan runner-up top skor sepanjang masa di kejuaraan antarklub Eropa
(nomer satunya si Raul, legenda Real Madrid). Dia striker ulung yang sudah
mencetak ratusan gol untuk AC Milan, Juventus dan timnas Italia. Tapi, banyak
juga komentar sinis soal Inzaghi, terutama menyangkut gaya mainnya.
Johan
Cruyff, legenda persepakbolaan Belanda: “Inzaghi banyak mencetak gol...tapi dia
tidak memiliki kualitas apa-apa.”
Sir Alex Ferguson,
manajer legendaris Manchester United: “Filippo Inzaghi terlahir dalam posisi offside.”
Ya, gaya main si Inzaghi ini memang sangat khas dan
banyak dikritik. Ia seorang poacher,
tipe penyerang oportunis. Sekilas kalau orang hanya melihatnya sebentar,
kesannya dia pemain yang sangat malas dan payah. Tekniknya biasa-biasa saja.
Fisiknya tidak begitu kuat. Lompatan atau daya sundulnya payah. Tapi Inzaghi
sangat jago dalam satu hal: penempatan posisi.
Inzaghi
menghabiskan sebagian besar waktu pertandingan berkeliaran di sekitar lini
pertahanan terakhir terakhir lawan, menunggu bola terobosan untuk disambut
menjadi gol. Seringkali ia memang terjebak offside, tapi sekalinya ia berhasil
lolos dan menguasai bola di kotak penalti....99% akan terjadi gol. Begitulah caranya
bermain, dan para pengkritik Inzaghi selalu menggerutu kalau memang itu
satu-satunya trik yang ia bisa; ia bukan tipe penyerang yang bisa turun
menjemput bola, mengatur serangan, mendribel bola melewati beberapa pemain,
atau melepaskan tendangan jarak jauh nan dahsyat.
Tapi,
faktanya Inzaghi adalah seorang striker. Striker bermain dan dibayar untuk mencetak
gol. Inzaghi bukan salah satu pemain terbaik dunia yang nyaris bisa segalanya,
tapi ia berhasil menunaikan kewajibannya dengan sangat efektif dan dengan
caranya sendiri. Ia sadar betul dimana kelebihan dan keterbatasannya sebagai
seorang pesepakbola, dan hal itu sangat membantunya membangun jati diri sebagai
pemain dan mencapai karier sukses.
Tentunya,
kita sebagai manusia harus terus berusaha mencari cara untuk mengembangkan diri
kita dan mempelajari hal-hal baru. Tapi terkadang, ada saatnya kita berprioritas.
Spesifikasi. Fokus di hal-hal tertentu yang memang merupakan kelebihan kita. It’s better to be really great at one thing
rather than being average at many things. Mungkin nggak berlaku untuk semua
orang, tapi prinsip itu sangat cocok untuk saya pribadi.
Mungkin
ada beberapa manusia multi-talenta yang (kesannya) bisa segalanya, tapi saya
bukan salah satu dari mereka. Saya memilih untuk menekuni hanya beberapa hal
tertentu yang memang sangat saya minati; saya memilih untuk lebih berusaha jadi
spesialis alih-alih manusia sempurna serbabisa, karena saya percaya di dunia
luas ini ada rekan-rekan yang kelebihannya bisa menutupi kekurangan saya dan
begitu pula sebaliknya. Seperti Inzaghi yang juga saling melengkapi dengan
rekan-rekan setimnya, bagai satu potongan dari kepingan puzzle.
Satu
lagi hal yang penting (paling penting, malah) tentang Inzaghi: ekspresinya
setelah mencetak gol sangat khas. Ekspresi yang membuat saya nggak bisa kesal
ke orang ini, biarpun ia pernah mencetak dua gol yang menghancurkan tim
kesayangan saya Liverpool di final Liga Champion 2007.
....The guy really loves what he’s doing, eh?
Inzaghi
kini sudah pensiun dan rumornya akan meneruskan karier di dunia kepelatihan. Saya
akan kehilangan pergerakannya yang sangat cerdik dan bagai bayangan. Saya akan
kehilangan sentuhan penyelesaian akhirnya yang mematikan. Tapi, lebih dari
segalanya, saya akan kehilangan ekspresi bahagia dan luapan emosinya setiap
baru mencetak gol. Bukti kecintaan dan hasratnya akan permainan ini.
Arrivederci, Super Pippo.