Sunday, January 11, 2015

Indie Book Review: Stories from The Past (Silvarani)


Stories from The Past (Kumpulan Novella)
Penulis: Nadia Silvarani
Penerbit: Nadia Silvarani
Genre: Drama sejarah
Halaman: 200
Cover Design: Muhammad Amin
Tahun: 2013


Kira-kira di akhir 2013, buku yang  ditulis seorang teman kuliah  ini  sempat menemani saya di perjalanan bolak-balik  Jakarta-Serang dalam rangka mencari nafkah. Lumayanlah daripada terus-terusan memelototi biduan-biduan berbusana minim yang sering nongol di TV bis antarkota, hehehe. Buku ini menarik, bukan hanya karena faktor koncoisme mentang-mentang saya kenal penulisnya, melainkan karena tema dan gaya penulisannya yang tergolong segar. 

Dalam buku ini ada tiga novella/novellette (<--kakaknya cerpen, adiknya novel), Lonceng Eksekusi, Sebeloem Monas Dibangun, dan Tjinta Seperempat Abad. Seandainya Anda bertanya-tanya kenapa judul-judul ceritanya ditulis dengan gaya tempo doeloe, buku ini memang pada dasarnya memiliki nuansa sejarah yang kental, khususnya sejarah kota Jakarta. Fiksi sejarah? Yap! Di era di mana anak muda Jakarta mungkin bisa hafal nama lengkap personil band luar negeri kesayangannya tapi planga-plongo kalau ditanya soal sejarah kota tempatnya tinggal, cukup menyenangkan bahwa ada penulis yang mengintegrasikan faktor edukasi dalam kemasan fiksi populer. 

Sesuai dengan judul bukunya sendiri, novella-novella tersebut mengangkat kisah-kisah dari masa lalu. Bukan hanya masa lalu dari karakter-karakternya, melainkan juga masa lalu dari latar kota Jakarta jauh sebelum ia menjadi ibu kota metropolitan yang banyak didambakan sekaligus dibenci. Pola masing-masing cerita biasanya diawali dengan adanya tokoh-tokoh di era modern yang kemudian menjembatani pembaca kepada sebuah kisah di masa lalu; Reno, seorang pelukis dan jurnalis lepas yang mengunjungi pameran seorang pelukis Prancis di era kolonial (Lonceng Eksekusi) dan mencari tahu latar belakang calon suami sahabatnya (Tjinta Seperempat Abad), serta Bintang dan Veli, sepasang mahasiswa yang akrab dengan seorang engkong penghuni panti wreda (Sebeloem Monas Dibangoen). Dari situlah, muncul benang merah yang mengaitkan peristiwa di masa lalu dengan apa yang dialami tokoh-tokoh utama di masa kini. 
 
Range ketiga novella tersebut cukup membuat saya kagum.  Ketiganya memiliki gaya dan atmosfer yang beragam; Lonceng Eksekusi merupakan cerita yang paling singkat dan bernuansa getir, Sebeloem Monas Dibangun adalah komedi roman yang bernuansa jenaka, sementara Tjinta Seperempat Abad tergolong drama keluarga sekaligus kisah paling panjang dan dramatis dalam buku ini. Namun, semuanya memiliki narasi yang kuat dan jarang sekali menjadi membosankan saat dibaca. Gaya penulisan Silvarani cenderung lugas dan tidak bertele-tele, jarang memakai bahasa yang berbunga-bunga namun bukan berarti tanpa substansi.  Di Lonceng Eksekusi misalnya, terlihat kekuatan dari segi  penggambaran latar dan deskripsi atmosfer dalam cerita yang menurut saya memiliki konsep ide (*pengalaman seorang pelukis yang melukis narapidana hukuman mati di era kolonialisme) paling menarik di buku ini. 

Sejauh mata memandang, penduduk Batavia memadati alun-alun. Mulai dari penjaja makanan, kuli, pemusik jalanan sampai bangsawan Eropa dan orang pemerintahan selalu berebutan menonton hukuman mati. Jika eksekusi berhasil, mereka bersorak. Jika eksekusi gagal, mereka bersorak pula. Tak jelas bagaimana bentuk perasaan mereka saat itu (Lonceng Eksekusi, hal. 15)
 
Saya juga menyukai dialog dan interaksi karakter secara umum di buku ini. Dialog yang ditulis Silvarani menggambarkan karakter yang benar-benar hidup, alami, dan seringkali terasa lucu tanpa memaksakan diri untuk terang-terangan melawak. Bumbu humor paling kental terasa di cerita pertengahan, Sebeloem Monas Dibangoen, yang menampilkan tokoh seorang engkong dengan tingkah laku agak sableng.

"Ngomong-ngomong, kemaren lu denger pidato presiden di RI?" 
"Kagak dengerin bang. Aye semalem nginep di Rumah sakit umum. Kagak bawa radio. Berat bang."
"Siapa nyang nyuruh lu nenteng-nenteng radio ke Rumah sakit Umum? Gue cuman nanya, elu dengerin pidato presiden kagak di radio? Tapi ngomong-ngomong, ngapain lu ke rumah sakit Umum?"  (Sebeloem Monas Dibangun, hal. 39-40)

Kumpulan novella ini ditutup dengan Tjinta Seperempat Abad, yang agak 'kalah' dari kedua cerita lainnya di mata saya karena ada beberapa titik perkembangan cerita yang saya rasa terlalu bombastis. Walau begitu, cerita ini tetap tergolong bagus karena kekuatan temanya yang menyorot aspek keluarga, khususnya dalam perbandingan antara keluarga kandung yang telah lama meninggalkan seorang tokoh di situ dengan keluarga angkat yang membesarkannya. Digambarkan juga aspek dunia kedokteran di era kolonialisme dan sentuhan atmosfer era tersebut yang cukup efektif. 

Walaupun buku ini diproduksi secara independen, namun kualitas produksinya tergolong bagus. Sampul depan dan belakang menampilkan ilustrasi asli yang menawan dari M Amin, dan sangat menggambarkan tema serta atmosfer dari Stories from The Past. Kadang ada salah ketik dan inkonsistensi kapitalisasi huruf (*lihat penulisan rumah sakit umum di salah satu kutipan di atas, misalnya), tapi masih dalam batas kewajaran dan tidak terlalu mengganggu kenyamanan saya membaca. 

Pada akhirnya, saya pun mendapat kesan yang kuat setelah menyelesaikan semua cerita di buku ini. Aspek sejarahnya memang bisa digali lebih dalam lagi dan penulis pun menyampaikan maaf seandainya ada kesalahan faktual, tapi niat untuk menyertakan elemen tersebut saja sudah patut diacungi jempol. Dalam kata pengantarnya, penulis sempat menyinggung "menerbitkan novel sejarah untuk karya perdana ini adalah sebuah langkah yang agak cari mati....", tapi secara pribadi saya yakin masih banyak yang ingin mendapat angin segar seperti ini di belantara genre metro pop yang terkesan stagnan.
 
Don't ever be afraid to write things you're passionate about. 
 
(*penulis bisa dihubungi untuk kepentingan pemesanan buku lewat akun Twitter @silvarani atau @silvaranibooks).   

No comments:

Post a Comment