Past Present Future
Letting my writing take me wherever my heart wants to go.
Monday, December 26, 2022
Catatan Film Indonesia: Nana, Ngeri-Ngeri Sedap, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
Sunday, April 11, 2021
Tantangan Film 2021 #5: Set It Up
Pada dasarnya, saya cenderung omnivora soal film.
Sutradara: Claire Scanlon
Durasi: 105 menit
Pemeran: Zoey Deutch, Glen Powell, Lucy Liu, Taye Diggs
Staf Kunci: Katie Silberman (penulis naskah); Matthew Clark (sinematografi); Laura Karpman (musik); Wendy Greene Bricmont (editing)
Saturday, March 27, 2021
Tantangan Film 2021 #4: Wolfwalkers
Ada film yang menampilkan peristiwa sejarah dengan seakurat mungkin sesuai data fakta. Ada yang menampilkan peristiwa sejarah, tapi dengan bumbu narasi fiktif yang didramatisir. Ada yang… mengambil konflik bersejarah, mengubah drastis hasilnya, dan menambahkan elemen seperti manusia serigala di hutan.
Sutradara: Tomm Moore, Ross Stewart
Durasi: 103 menit
Pengisi Suara: Honor Kneafsey, Eva Whittaker, Sean Bean, Simon McBurney, Maria Doyle Kennedy
Staf Kunci: Will Collins (penulis naskah); Tomm Moore, Ross Stewart (pengarang cerita); Bruno Colais, Kila (musik); Richie Cody, Darren Holmes, Darragh Byrne (editing)
Distributor: Wildcard/Apple Inc. (bisa ditonton di layanan streaming Apple+)
Seperti banyak film animasi masa kini, Wolfwalkers memilih anak perempuan sebagai protagonisnya: Robyn, anak gadis dari pemburu yang ditugaskan Lord Protector untuk ‘membersihkan’ hutan Irlandia dari kawanan serigala terakhir. Robyn yang bersemangat ingin membantu ayahnya, kemudian bertemu dengan gadis serigala, Mebh, yang kemudian mengubah jalur kehidupan mereka berdua untuk seterusnya…
Satu hal yang jelas harus disebut pertama: bangun latar
(Irlandia abad ke-17), desain karakter, dan teknik animasi dari film ini masuk level dewa. Mayoritas film ini digambar tangan dengan sentuhan efek 3 dimensi di sejumlah momen krusial, pilihan warna yang cemerlang, serta penampakan objek yang begitu elastis dan kaya tekstur. Ada banyak ragam nuansa visual pada film ini yang ditampilkan sama baiknya, baik itu pemukiman ramai penduduk dengan warna cerah, maupun hutan pada malam hari dengan nuansa mistis, misterius, dan dipenuhi semburat warna gelap. Lalu, ada bagian animasi yang bisa dibilang paling mencolok dari film ini: wolf vision atau visualisasi dari sudut pandang serigala.
Dengan kata lain, penonton bisa menyimak serius unsur-unsur sosiopolitik di filmnya, dan bisa juga menikmati dengan hanya fokus ke inti cerita dan karakternya. Bagi peminat sejarah, akan menarik melihat bagaimana Wolfwalkers menggambarkan Oliver Cromwell dan merevisi hasil akhir dari upayanya menaklukkan tanah Irlandia. Ini jelas revisi 'indah' yang hanya bisa terjadi di dunia dongeng, tapi mau tak mau saya jadi turut berangan-angan... alangkah lebih baiknya dunia kalau generasi mudanya seperti Robyn dan Mebh!
Bagi dunia film animasi, 2020 adalah tahun yang bagus. Ada tiga film luar biasa dari beragam kultur yang dirilis pada tahun itu: A Whisker Away, Soul, dan Wolfwalkers. Soul jelas yang paling 'punya nama' dengan pesan yang amat relevan di masa sekarang, A Whisker Away punya pesona khas animasi Jepang dan karakter-karakter yang patut disayangi, sedangkan Wolfwalkers paling impresif dari segi visual dan rasanya akan terus memberikan hal baru saat ditonton ulang. Semoga ke depannya, akan terus banyak film animasi dengan kreativitas, kualitas, dan pesona seperti judul-judul ini...
Sunday, March 14, 2021
Tantangan Film 2021 #3: Inhuman Kiss
Dari Israel, saya berlanjut ke Negeri Gajah Putih untuk memenuhi tantangan nonton berikutnya: 'film dari Thailand'. Tema ini disumbang oleh sobat nonton saya, Dion, penggemar film Thailand merangkap fanboy aktris Pimchanak 'Baifern' Luevisadpaibul. Dibanding dia, jam terbang saya nonton film Thailand jauh lebih sedikit; saya hanya pernah nonton Shutter dan Bad Genius, tapi saya suka dua-duanya (terutama Bad Genius yang merupakan salah satu film favorit saya dalam beberapa tahun terakhir). Jadi, saya lumayan bersemangat untuk mengeksplorasi lagi khasanah perfilman negara ini.
Setelah mengobok-obok katalog film Thailand di Netflix (yang koleksi film Asia Tenggaranya cukup oke), pilihan akhirnya jatuh kepada film horor Inhuman Kiss.
Sutradara: Sitisiri Mongkolsiri
Durasi: 122 menit
Pemain: Phantira Pipityakorn, Oabnithi Wiwattanawarang, Sapol Assawamunkong, Surasak Wongthai
Staf Kunci: Chukiat Sakveerakulr (penulis naskah); Pithai Smithsuth (sinematografi); Pithai Smithsuth (musik); Manussa Vorasingha, Abhisit Wongwaitrakarn (editing)
Distributor: M Pictures/Netflix (bisa ditonton di website Netflix)
Krasue dalam film ini dikisahkan tengah meneror sebuah desa pada periode 1940-an di Thailand, dengan memangsa hewan ternak para penduduk di malam hari. Di desa ini, tinggal gadis remaja bernama Sai (Phantira Pipityakorn), yang tumbuh bersama teman-teman masa kecilnya, Jerd (Sapol Assawamunkong), Noi (Oabnithi Wiwattanawarang), dan Ting (Darina Boonchu). Pada suatu hari, Noi yang sudah lama meninggalkan desa, pulang kampung bersama pasukan pemburu krasue yang dipimpin seorang pria tua obsesif, Tad (Surasak Wongthai). Cerita berkembang menjadi roman cinta segitiga antara Sai, Noi, dan Jerd, sementara perburuan krasue terus berlanjut dan rahasia kelam pun satu-persatu terkuak...
Tema tentang simpati terhadap sosok 'monster' dan kisah asmara antara manusia dengan 'monster' sebenarnya bukan hal baru dari sejak zamannya Frankenstein hingga Twilight. Namun, yang jadi tantangan tersendiri di sini adalah bagaimana 'memanusiawikan' krasue, sosok yang citranya mengerikan nan menjijikkan (masih jauh lebih gampang menampilkan vampir kece, misalnya, dibanding kepala cewek yang melayang-layang dengan organ masih gelantungan). Di sinilah tata artistik dan efek visual sangat berperan, dan sukses menampilkan sosok krasue yang semakin lama semakin terlihat memukau dalam ketragisannya. Estetika visual filmnya memang menonjol, dari pemilihan warna yang indah dan halus, hingga adegan klimaks luar biasa dengan efek laga yang tidak kalah dahsyat dibandingkan film superhero Barat.
Friday, February 26, 2021
Gangguan Mental: Musuh Tak Kasat Mata di Dunia Kerja
Bekerja sampai larut malam dan di akhir pekan.
Masih membalas dan mengecek pesan soal pekerjaan, walau sudah bersama keluarga di rumah.
Merasa letih dan menunjukkan tanda-tanda depresi, tapi tidak bisa ambil cuti atau istirahat karena tekanan tanggung jawab yang dibebankan kantor.
Saat ini, fenomena-fenomena tersebut sudah bukan hal aneh lagi di kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan. Pasca tahun 2000, teknologi internet, pesan instan, dan komunikasi jarak jauh yang kian mudah memang membuat kehidupan terkesan lebih praktis. Namun, terdapat dampak berbahaya di baliknya, khususnya bagi pelaku dunia kerja. Siklus produksi menjadi lebih cepat, dan batas antara ranah pribadi dan ranah profesional pun kian mengabur. Pekerjaan senantiasa membuntuti karyawan bahkan setelah ia pulang ke rumah dari kantor, karena kini atasan, rekan kerja, maupun klien bisa menghubunginya di mana pun dan kapan pun mereka merasa perlu.
Dengan ditambah tekanan untuk menghidupi keluarga, memenuhi tenggat waktu, atau menjaga hubungan baik dengan kolega, tidak heran makin banyak karyawan yang mengalami gangguan mental. Menurut perwakilan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), Nuri Purwito Adi, pada 2017, sebesar 60,6% pekerja industri kecil menengah di Indonesia mengalami depresi, sedangkan 57,6% mengidap insomnia. Depresi sendiri dapat berbuntut ke masalah kesehatan fisik, atau ketidakharmonisan hingga bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini jelas meresahkan, ditambah lagi kesadaran masyarakat Indonesia khususnya di dunia kerja yang masih tergolong rendah terhadap isu kesehatan mental.
Manajemen dan Rekan Kerja Sebagai Pelindung Kesehatan Mental
Tentunya, setiap manusia punya tanggung jawab untuk menjaga kesehatannya sendiri, termasuk kesehatan mental. Namun, patut diingat bahwa banyak faktor yang membuat karyawan memilih untuk menahan atau menyembunyikan gangguan mentalnya. Faktor itu bisa berupa tekanan finansial, tuntutan berlebihan dari atasan atau kantor, rasa takut akan stigma negatif terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental, maupun kurangnya alternatif tempat kerja lain yang lebih akomodatif bagi kesehatan mental si karyawan.
Dalam budaya kantor di Indonesia pun, masih sedikit karyawan yang menyadari bahwa mereka bisa memperoleh surat izin tidak bekerja dari psikiater, seperti halnya saat mereka mengalami gangguan kesehatan fisik. Di sisi lain, pemberi kerja pun tidak bisa sewenang-wenang memanfaatkan karyawan di atas batas kewajaran, atau acuh membiarkan karyawan bekerja dengan cara yang berisiko menyebabkan gangguan mental. Hal ini bisa berupa pemaksaan lembur di luar jam kerja normal, atau dalam bentuk yang lebih halus, penciptaan budaya kerja yang membuat karyawan selalu mendahulukan pekerjaan dibanding kesehatan mentalnya sendiri.
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia pasal 35 ayat 3, pemberi kerja diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan kata lain, pemberi tenaga kerja wajib memastikan bahwa ia sudah menyediakan lingkungan kerja yang sehat bagi karyawan, termasuk dari aspek mental. Hal ini terwujud dari terciptanya budaya kerja yang sehat dan tidak membebani kondisi mental karyawan hingga melampaui batas.
Budaya kerja yang sehat tidak akan terwujud bila pemberi kerja mengedepankan profit semata, dan menerapkan jam kerja yang amat mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi karyawan maupun di kantor. Pada kenyataannya, mayoritas waktu tenaga kerja usia produktif sudah akan terpakai untuk bekerja dari Senin sampai Jumat, sehingga seharusnya waktu di luar jam kerja normal itu bisa mereka nikmati tanpa gangguan pekerjaan. Empati harus ditanamkan dalam diri setiap karyawan untuk berusaha tidak mengganggu rekannya pada jam istirahat mereka, kecuali dalam situasi yang benar-benar darurat.
Dalam hubungan dengan pihak ketiga berupa klien, manajemen suatu usaha perlu tegas menginformasikan rentang jam kerja mereka sendiri sehingga tidak ada pemaksaan dari salah satu pihak untuk mengikuti jam kerja yang lainnya. Hal ini seringkali terlupakan, karena prioritas yang lebih mengedepankan hubungan baik dengan pihak ketiga alih-alih kondisi karyawan sendiri. Padahal, apabila karyawan bekerja dalam kondisi mental yang tidak prima, pemberi kerja sendiri yang akan rugi karena hasil kerja karyawan tersebut tidak akan optimal atau karyawan tersebut ujungnya beralih ke pekerjaan lain karena tidak merasa betah.
Penyusunan kebijakan manajemen, khususnya departemen Sumber Daya Manusia (SDM), harus mampu mengidentifikasi aspek kebutuhan psikis karyawan yang tidak bisa juga dipukul rata. Setiap manusia punya karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga manajemen tidak bisa berasumsi bahwa satu kebijakan saja sudah pasti membawa dampak positif bagi semua karyawan. Jangan memaksakan kegiatan outing atau jalan-jalan bersama untuk semua karyawan, misalnya, karena bisa saja ada orang yang hanya ingin istirahat atau enggan kalau waktu bersama keluarga yang sudah sedikit jadi makin berkurang.
Manajemen bisa mendengarkan curahan hati dan keluh kesah karyawan melalui sebuah forum internal terbuka. Namun, yang lebih penting adalah adanya rasa perhatian secara tulus yang tercermin dari tindakan sehari-hari. Divisi SDM bisa mengingatkan karyawan bahwa mereka punya jatah cuti yang belum terpakai, misalnya. Saat mengirim karyawan untuk tugas lapangan, kantor bisa mengambil langkah-langkah sebelumnya untuk memastikan kesehatan dan keamanan karyawan tersebut sebelum bertugas. Alih-alih saling menyalahkan, sesama rekan kerja patutnya membiasakan diri untuk memberi kritik konstruktif dan menyelesaikan masalah dengan tidak terbawa emosi.
Saturday, February 20, 2021
Tantangan Film 2021 #2: Sand Storm
Sekitar satu dekade lalu, saya mulai tertarik pada dunia film di luar ranah lokal atau Hollywood, alias film-film dari berbagai negara yang biasanya nggak ditayangkan di bioskop (bahasa kerennya: ‘world cinema’). Menarik rasanya melihat refleksi kehidupan orang-orang dengan kultur, bahasa, dan filosofi yang berbeda dengan yang biasanya saya lihat sehari-hari. Pada waktu itu pun, saya jadi punya aspirasi untuk menonton film-film dari sebanyak mungkin negara yang berbeda…. anggap saja ini cara realistis dan hemat untuk keliling dunia, hahaha.
Kini, nonton film-film seperti itu jadi lebih mudah berkat
berbagai pilihan streaming yang menawarkan judul dari beragam festival film
internasional, nggak perlu lagi mondar-mandir cari tempat download esek-esek.
Jadi saya pun kembali ‘keliling dunia’ dengan sekalian memenuhi salah satu tema
dari tantangan film tahun ini: film dari negara yang belum pernah saya tonton.
Untuk kategori ini, pilihan saya jatuh pada Sand Storm, film Israel pemenang
penghargaan di Sundance Festival tahun 2016.
Sutradara & Penulis Naskah: Elite Zexer
Durasi: 87 menit
Pemain: Lamis Ammar, Ruba Blal, Hitham Omari, Khadija Al Akel
Staf Kunci: Shai Peleg (sinematografi); Nir Adler (penata artistik); Ronit Porat (editing)
Distributor: Pyramide Distribution (bisa ditonton di website Netflix)
Film besutan sutradara berkebangsaan Israel, Elite Zexer, ini menariknya tidak mengambil latar di kota besar Israel seperti Tel Aviv atau Haifa. Alih-alih, Sand Storm mengangkat kehidupan orang-orang Bedouin di kawasan padang pasir Negev, penganut Islam yang sehari-hari berbahasa Arab. 'Badai pasir' yang dimaksud judul filmnya bukan semata mengacu kepada lautan pasir di kawasan tersebut, melainkan pada konflik rumah tangga antara Layla (diperankan oleh Lamis Ammar), putri sulung yang hendak dijodohkan walau ia sudah punya pacar pilihan sendiri; Suliman (Hitham Omari), sang ayah yang mempraktikkan poligami dan baru saja menikahi istri kedua; serta Jalila (Ruba Blal), ibu Layla dan istri pertama Suliman.
Sunday, February 7, 2021
Tantangan Film 2021 #1: The Vast of Night
Dalam hal nonton film, masa pandemi membawa berkah dan musibah buat saya. Musibah karena tidak bisa nonton di bioskop, walau sudah buka sekalipun karena ogah membahayakan diri sendiri dan orang lain. Berkah karena jadi punya teman baru untuk diskusi film online, Bung Dion, salah satu sumber motivasi saya untuk tetap update dengan dunia perfilman dan menonton film-film di luar ranah mainstream.
Untuk 2021, kami membuat daftar tantangan nonton 25 film bertema khusus. Buat saya pribadi, ini untuk menambah motivasi nonton dan bikin tulisan lagi tentang film (supaya blog ini nggak terus-terusan terlantar… eh, memangnya masih ada yang nulis blog di zaman sekatang ya? Bodo amat lah). Tulisan pertama saya untuk tantangan ini adalah The Vast of Night, film debut sutradara Andrew Patterson, dengan kategori tema ‘film dengan alur cerita kurang dari 24 jam’ (atau dengan kata lain, keseluruhan cerita dalam filmnya berjalan dalam waktu kurang dari sehari).
Sutradara: Andrew Patterson
Durasi: 89 menit
Pemain: Sierra McCormick, Jake Horowitz
Staf Kunci: James Montague, Craig W. Sanger (penulis naskah); M.I. Littin Menz (sinematografi); Erick Alexander, Jared Bulmer (musik); Junius Tully (editing)
Distributor: Amazon Studio (bisa ditonton di website Amazon Prime)
Film berlatar waktu singkat bisa berupa berbagai genre: romansa (trilogi Before Sunrise, Sunset, dan Midnight), thriller (Buried), drama psikologis (Locke), dan lain-lain. Namun, biasanya ada satu benang merah penghubung: penekanan pada interaksi karakter dengan karakter lainnya atau situasi di sekeliling mereka. The Vast of Night pun terasa seperti itu. Mayoritas adegan bertumpu pada interaksi dua tokoh muda-mudi: Everett (diperankan oleh Jake Horowitz), pemuda penyiar radio, dan Fay (Sierra McCormick), gadis operator switchboard telepon.
Latarnya mengambil tempat di Cayuga, sebuah kota fiktif di New Mexico, Amerika Serikat, pada 1950an. Pada suatu malam ketika banyak penduduk kota yang berkumpul di balai olahraga untuk nonton pertandingan basket, Fay mendengar bunyi sinyal aneh saat sedang bekerja. Bersama Everett, mereka pun menyiarkan pengumuman radio untuk mencari orang yang mungkin tahu tentang asal-muasal bunyi tersebut. Tak disangka, penyelidikan tersebut kemudian membawa mereka menuju sebuah kenyataan mengejutkan….
Sepanjang film, kita melihat dari sudut pandang Fey dan Everett, sehingga perlahan-lahan kita jadi makin mengenal mereka. Ada kontras yang menarik antara kepribadian Everett yang pragmatis dan serbatahu dengan Fey yang lugu nan idealis, walau mereka sama-sama memiliki minat pada dunia radio dan penyiaran. Sifat jelek mereka pun kian kentara seiring berkembangnya cerita: Everett songong menjurus arogan, sedang Fey cerewet dan panikan. Akan ada momen saat penonton merasa sebal dengan mereka, tapi hal ini justru memperkuat kesan autentik; seakan mereka bukan sekedar tokoh dalam film, melainkan manusia betulan yang bereaksi terhadap situasi aneh secara realistis.
Nuansa periode 1950an digambarkan dengan baik melalui aspek sinematografi, desain set, maupun tata busana. Salah satu momen paling berkesan (dan flexing secara teknis) di film ini adalah adegan tracking shot panjang yang menunjukkan berbagai lokasi, dengan pergerakan kamera super dinamis dari elevasi bawah. Patterson memang doyan melakukan pengambilan gambar/adegan panjang tanpa putus—termasuk sengaja tidak memotong dialog/momen yang sebenarnya tidak relevan dengan plot, dalam rangka membangun suasana dan karakter. Contohnya lagi adalah adegan 9 menit yang menunjukkan rutinitas Fey dalam mengoperasikan panel switchboard (di masa itu penelepon akan dihubungkan lebih dulu dengan operator pusat telekomunikasi/switchboard sebelum dialihkan ke sambungan orang yang ingin dihubungi).
Jadi, walau filmnya tergolong pendek, bukan berarti ‘langsung cepat ke intinya’. Dimulai dari penggambaran suasana persiapan pertandingan basket serta dialog ngalor-ngidul Fey dan Everett saat mereka jalan bareng menuju tempat kerja masing-masing, alur narasi memang berjalan apa adanya dan membiarkan konflik berkembang pelan-pelan. Kurang cocok buat yang nggak doyan menyimak dialog, atau yang maunya banyak adegan aksi duar-duar.
Apakah filmnya tergolong berhasil dengan teknik demikian? Buat saya, ya dan tidak. Saya menikmati atmosfer dan mayoritas dialognya, tapi tidak semua interaksinya menarik untuk disimak. Akhir filmnya (penyelesaian konflik/klimaks dan tema besar) juga terasa kurang ‘nendang’, walau tergolong berani dari segi konsep. Bisa dibilang, daripada misteri utamanya, saya lebih tertarik pada aspek sampingan/serba-serbi di film ini—seperti obrolan Fey dan Everett tentang masa depan, dunia penyiaran, dan pencarian konten untuk radio.