Saturday, November 2, 2013
Coconut Rice Chronicle
Usually, I don't really care what I eat for breakfast, and oftentimes I skip breakfast altogether. It's nice when I can have one, but it's not really necessary for me. Then, one day I found a coconut rice joint near my house.
I had a taste of it, and it felt good. I started to have it for breakfast increasingly often, until the point where I used to eat it every day. Somehow I never feel bored with it; it just keeps getting better and better each day. I can't really explain why, as I'm sure there are more delicious kinds of breakfast out there. However, the coconut rice is simply the one I like the most, the only one that could made me wake up really early and go outside just to make sure I get to it before it runs out of stock.
Then, the joint closed. Not all of sudden; it started to close a few times, then increasingly often, and finally it closed permanently. I can't have the coconut rice for breakfast anymore.
A year passed, and I never tasted the rice anymore. I tried some other alternatives for breakfast, but nothing sticks. In the end, I returned into not caring about breakfast again, perhaps even worse than before because now I knew what a perfect breakfast felt like to me; and now that I can't have it anymore, everything else feels inferior in comparison. I can't have anything else until at least I forgot the taste of that coconut rice. But, deep down I know I don't want to forget.
One day, I went back into that place again, and surprised to find out that it is open. "Just for one day, but who knows, maybe you can go back sometime and you'll find us open again," said the owner. I eat the coconut rice again after so long.
It was a beautiful day, and I still love the coconut rice. More than ever.
Friday, September 13, 2013
Kisah Singa dan Burung Hantu
Latihan menulis fabel yang "gelap". Bisa berdiri sendiri, tapi lebih merupakan prolog dari (rencananya) cerita yang lebih besar.
***
Di tanah nun
jauh dari peradaban manusia, terdapat sebuah hutan rimba yang dihuni berbagai
jenis binatang. Hutan itu sendiri secara turun-menurun diperintah oleh keluarga
singa, yang merupakan binatang paling disegani di hutan itu. Secara turun
menurun pula, singa di kerajaan itu didampingi oleh penasihat berupa burung
hantu. Burung hantu adalah binatang yang paling dipercaya di hutan, matanya
yang besar dianggap menandakan kebijaksanaan yang berlimpah, sedangkan suara
kukuknya yang khas disebut-sebut merupakan simbol kesetiaan terhadap keluarga
singa. Konon, bila sang singa penguasa tengah berada dalam bahaya, suara kukuk
burung hantu lah yang menjadi tanda peringatan bagi dirinya agar dapat lolos
dari malapetaka yang akan menimpanya.
Pada suatu zaman, hiduplah seekor
singa yang tidak lain merupakan penguasa baru dari hutan itu. Singa ini
sebenarnya masih tergolong anak singa, surainya pun masih belum tumbuh dengan
sempurna. Namun, ia sudah harus mengemban beban memimpin hutan selepas kematian
ayahnya, sang raja sebelumnya, akibat sakit. Kehidupan sang anak singa yang
sebelumnya kerjanya hanya main dan bermalas-malasan pun berubah total seiring
dengan jatuhnya berbagai jenis kewajiban yang harus dijalankannya. Dalam hal
ini, ia menjadi banyak bergantung pada burung hantu pendampingnya, yang
sebelumnya juga telah menjabat sebagai penasihat ayahnya.
“Baginda Raja Muda tenang saja. Anda
cukup tampak gagah dan berwibawa saja, biar saya yang menangani tetek-bengek
urusan hutan,” begitulah kata sang burung hantu untuk menenangkan sang singa,
yang ketakutan setengah mati begitu penobatannya. Maka, sang raja baru pun
menjadi lebih tenang. Untung ada si burung hantu! Begitulah pikirnya di
hari-hari awalnya berkuasa.
Namun, semakin lama sang singa muda
menjadi semakin resah. Ia mendengar kasak-kusuk di hutan bahwa dirinya tidak
siap dan tidak pantas untuk memerintah. Ia pun dapat menangkap kurangnya rasa
respek dan percaya rakyatnya kepadanya, berbeda sekali dibandingkan dengan saat
ayahnya masih berkuasa. Hal ini sangat mengganggu sang raja muda sehingga ia
pun tidak dapat makan dan tidur dengan tenang. Di bayangannya, ketika pertemuan
besar hutan, hewan-hewan yang membungkuk di hadapannya sebenarnya mencibir
dirinya.
Sehari-harinya
pun, sang singa pun menyampaikan keluh-kesahnya kepada burung hantu
penasihatnya.
“Wahai burung hantu, apakah ini
hanya perasaanku saja atau memang rakyatku membenci aku?”
Burung hantu mendecak prihatin. “Ya,
sejujurnya ini memang suatu masalah, Baginda. Dan baru-baru ini aku baru saja
mendapat kabar mengkhawatirkan. Ada beberapa binatang yang melaporkan bahwa
mereka tengah didekati oleh seekor binatang yang ingin menyusun rencana untuk
menggulingkan Baginda!”
“Apa!? Si-siapa binatang itu?? Siapa yang
telah begitu lancang merencanakan hal seperti itu!”
“Sang badak, Baginda.”
Keterkejutan sang raja menjadi
semakin besar mendengar jawaban tersebut apalagi karena sang badak sebelumnya
adalah salah satu sahabat ayahnya. “Astaga! La-lalu aku harus bagaimana
sekarang!? Katakan padaku burung hantu, apa yang harus kulakukan!?”
“Untungnya kita mengetahui hal ini
sebelum semuanya terlambat, Baginda,” bisik burung hantu lembut. “Jadi, kita
dapat mengambil tindakan untuk mencegah niat busuk si badak. Hamba sarankan
kita bawa si badak ke pengadilan hutan dan kita eksekusi dia.”
“Apa?? Tapi, dia mantan sahabat
ayahku! Apa bukti-buktinya sudah cukup? Dan apa kita harus membunuhnya? Tidak
bisakah kita usir saja dia?”
Suara burung hantu menjadi lebih
tegas. “Tidak bisa, Baginda. Kita harus eksekusi dia di depan publik, sebagai
tanda peringatan kepada hewan-hewan lainnya untuk tidak coba-coba melakukan hal
yang sama. Kalau tidak, Baginda Raja Muda akan dicap sebagai pemimpin yang
lemah dan reputasinya akan semakin jatuh. Soal bukti, tenang saja, hamba bisa
jamin bahwa kita sudah memiliki cukup bukti dari sumber-sumber yang terpercaya,
di antaranya para monyet.”
Maka, sang raja muda pun menurut.
Walau masih ada bimbang di hatinya, ia memutuskan mengikuti saran sang burung
hantu yang selama ini dianggapnya telah begitu cerdas dan bijaksana membantunya
menjalankan fungsi pemerintahan di hutan. Keesokan harinya, sang badak
ditangkap dan dibawa ke hadapan raja berikut sejumlah rakyat penghuni hutan
yang telah diperintahkan untuk berkumpul.
“Apa-apaan ini!? Ini fitnah!” lenguh
si badak di tengah-tengah lapangan yang sekaligus akan menjadi tempat eksekusi.
“Aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk yang kalian tuduhkan!”
Si raja mengkerut menghadapi amarah
badak sekaligus suara-suara gelisah dari kerumunan penonton. Namun, si burung
hantu segera menghampirinya dan berbisik dengan nada mendesak. “Anda tidak
boleh ragu, Baginda! Saat inilah Anda harus menunjukkan kewibawaan sebagai
raja! Badak itu sudah jelas terbukti bersalah, eksekusi harus dijalankan untuk
menjaga kehormatan kerajaan!”
Setelah menarik napas dalam, sang
raja pun mengeluarkan auman yang keras. Seketika, bunyi kasak-kusuk terhenti
dan sang badak pun berhenti memberontak. Seketika merasa lebih percaya diri,
singa itu membusungkan dadanya dan berteriak kepada si badak.
“Diam kau, badak! Para monyet sudah
memberikan kesaksian bahwa kau telah berani merencakan pemberontakan
terhadapku! Jangan coba-coba membantah lagi!”
“Betul-betul!” sahut monyet-monyet
yang bergelantungan di ranting pohon sekitar, sambil bertepuk tangan dengan
meriah menyambut kata-kata raja singa. “Bunuh, bunuh, bunuh!!”
Sang badak berhenti memberontak dan
kini menatap anak dari sahabatnya itu dengan pandangan sedih dan memohon.
“Tolonglah, Nak...buka matamu lebar-lebar.”
Raja singa meledak marah. “Aku bukan
anak-anak!! Aku sang Raja!!! Pengawal, apa yang kalian tunggu? Cepat habisi
dia!”
Maka, sang badak pun dieksekusi dan
sang Raja pun menjadi jauh lebih lega, menyangka bahwa peristiwa itu akan
menumbuhkan rasa segan penghuni hutan kepadanya. Namun, bukannya menyurut,
situasi sepertinya malah bertambah parah. Setiap minggu, ada saja kabar baru
dari si burung hantu mengenai hewan-hewan yang merencanakan hal-hal tidak
mengenakkan terhadap raja. Eksekusi menjadi hal yang rutin dan pemerintahan si
raja muda pun kemudian dikenal sebagai pemerintahan teror yang akan menghukum
siapapun yang berani bicara buruk tentang raja.
Sang singa kembali lagi merasa
galau. Ia memang ini disegani, tapi bukan begini caranya! Dan kenapa selalu
saja ada hewan baru yang merencanakan kejatuhannya? Sampai kapan semuanya harus
berjalan seperti ini?
“Ayaku dulu dihormati dan dicintai
rakyatnya,” keluhnya seperti biasa kepada si burung hantu yang selalu setia
mendengarkan. “Tapi aku? Aku tidak punya teman sama sekali! Mereka memang patuh
kepadaku, tapi hanya karena takut dihukum mati! Bagaimana ini, burung hantu?”
Burung hantu memandangi singa muda
lama dan tajam. Akhirnya, dia pun bersuara. “Hamba punya sebuah saran, Baginda.
Ada satu hal yang dapat Baginda lakukan untuk mendapatkan rasa cinta dan hormat
yang tulus dari para rakyat. Tapi, hal ini membutuhkan keberanian dan
keperkasaan yang luar biasa.”
Sang singa menyahut bergairah,
“Apapun itu, aku siap melakukannya! Badanku sudah semakin kuat sekarang, jadi
rintangan apapun pasti bisa kuatasi!”
“Hamba mendengar kabar bahwa banyak
hewan penghuni hutan yang mati misterius akhir-akhir ini. Katanya, ada seekor
makhluk yang diam-diam membunuhi mereka setiap harinya. Saat ini, hutan tengan
resah dan takut akibat kehadiran makhluk ini.”
Sang raja terkejut. “Apa!? Kenapa
baru sekarang aku dengar hal ini?”
“Hamba tidak ingin menyusahkan
Baginda, yang sudah pusing memikirkan berbagai urusan lainnya. Lagipula, Hamba
ingin mengumpulkan informasi yang cukup dulu sebelum menyampaikan hal ini. Nah,
kini Hamba sudah mengetahui lokasi bermukimnya makhluk itu. Kalau Baginda
memang siap, kita berangkat malam ini juga untuk menghabisinya saat ia tidur.”
“Malam ini? Bu-bukannya aku takut,
tapi kenapa begitu mendadak? Dan apa kita hanya pergi berdua saja? Aku juga
tidak terbiasa dengan perjalanan malam!”
“Makhluk itu harus secepatnya
dihabisi sebelum makan korban lagi. Baginda tidak usah takut, hamba sudah
memastikan kapan makhluk itu tidur sehingga ia paling rawan diserang. Lagipula,
walaupun ia kuat dan cerdas, hamba percaya bahwa ia bukan tandingan Baginda.
Namun, kita tidak bisa berangkat dengan pasukan karena ada risiko ia akan
menyadarinya dan melarikan diri. Mengenai soal malam hari, serahkan saja kepada
hamba untuk menjadi penunjuk jalan bagi Baginda. Kekuatan hamba memang tidak
ada apa-apanya dibandingkan Baginda, tapi tidak ada hewan lain di hutan ini
yang lebih menguasai kondisi malam daripada hamba.“
“Hmmm....baiklah kalau begitu! Kau
yakin dengan melakukan hal ini, rakyatku akan berbalik mencintaiku?”
“Makhluk itu sudah cukup lama
meresahkan hutan. Setelah kita menghabisinya, besok pagi kita akan kumpulkan
para penghuni hutan dan tunjukkan kepalanya. Hamba jamin mereka akan segera
bersujud di hadapan Baginda!”
Maka, malamnya pun mereka berdua
berangkat di tengah kegelapan hutan menuju tempat yang disebut-sebut burung
hantu merupakan sarang dari sasaran mereka. Selama perjalanan, sang singa
merasa semakin letih dan gelisah. Beberapa kali ia tergelincir atau tersandung
sesuatu karena matanya tidak terbiasa dengan gelapnya malam di hutan. Namun, ia terus membayangkan keesokan pagi
saat seisi hutan akan menatapnya takjub setelah aksi heroiknya malam ini.
Setelah cukup lama mereka menempuh
perjalanan, sang burung hantu yang memandu singa dari atas, turun ke dekat
kepala si raja dan berbisik di telinganya. “Sebentar lagi kita sampai di sarang
makhluk itu, Baginda! Saya akan berjaga di pohon sekitar sampai baginda
melancarkan serangan pertama, setelah itu saya akan turun dan melancarkan
serangan kejutan begitu ia sudah bangun dan menyerang balik.”
Sang singa mengangguk tegang. “Ya,
burung hantu. Ka-kalau terjadi apa-apa denganku...“
“Tenang saja Baginda, tidak akan ada
apa-apa yang terjadi pada Baginda...hewan itu kuat, tapi ia tidak sekuat
Baginda dan saya...”
“Ya, tapi apapun yang terjadi, aku
ingin mengucapkan terima kasih, burung hantu. Kau bukan hanya penasihat yang
handal, tapi juga satu-satunya sahabat sejatiku selama ini. Kalau kau yang
tidak selamat, aku tidak akan melupakanmu.”
Burung hantu tersenyum lembut,
suaranya penuh haru saat ia membalas. “Terima kasih kembali Baginda, suatu
kehormatan besar bagi saya untuk dapat melayani seeekor raja muda yang begitu
tangguh dan berani...”
Maka, si burung hantu pun melayang
ke sebuah pohon dan hilang ditelan gelapnya malam. Sang singa mengawasi pohon
tersebut sejenak, lalu beranjak dengan hati-hati menembus semak belukar. Tak
lama kemudian, ia tiba di sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Singa
tersebut mengedarkan pandangan, namun ia tidak menemukan apapun yang menyerupai
sarang. Saat ia mulai dilanda bingung, tiba-tiba terdengar suara yang memecah
kesunyian malam. Suara itu segera dikenalinya sebagai suara kukuk dari burung
hantu penasihatnya.
THWACK!
Sebuah batu yang sangat besar jatuh
dari sebuah pohon dan menghantam sisi kepala sang singa. Ia segera tersungkur
ke tanah, syok sekaligus kesakitan. Sementara, dari sekitarnya tiba-tiba
terdengar suara riuh bersemangat yang disusul munculnya monyet-monyet turun
dari pepohonan.
Sang singa menggelengkan kepalanya
dan berusaha bangkit, namun para monyet itu segera berhamburan dan memegangi
badannya dengan kasar. Raja muda itu, yang cedera cukup parah akibat hantaman
batu sekaligus letih karena perjalanan jauh, tidak cukup kuat untuk dapat
meronta lepas dari para penyergapnya itu. Di tengah kepanikan, ia pun teringat
pada penasihatnya yang bertengger di pohon dekat situ dan segera berteriak.
“Burung hantu, tolong aku!!”
Sang burung hantu pun menampakkan sosoknya.
Tapi, ia tidak menyerang monyet-monyet yang memegangi sang raja. Sebaliknya, ia
melangkah dengan santai dan berhenti tepat di hadapan mereka. Sang singa
menatapnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari betapa besar tubuh si burung
hantu, betapa lebar sayapnya, dan betapa tajam cakarnya. Lebih dari segalanya,
ia menyadari betapa tajam dan dingin sorot mata si burung hantu.
Lalu, ia pun mengerti.
“Ka-kau....”
“Ya, Rajaku yang terhormat. Kau akan
mati malam ini.”
Sang raja terbatuk-batuk dan mencoba
menggeliat bangkit untuk menyerang si burung hantu, tapi sebuah pukulan keras
dari salah satu monyet menghentikan upayanya.
“Kau raja yang bodoh. Raja yang
tidak pantas hidup. Sudah saatnya aku mengambil alih dan mengakhiri era para
singa. Memang butuh banyak pengorbanan, tapi ini semua demi kebaikan bersama.”
Tubuh singa terasa semakin lemas dan
pandangannya semakin kabur, tapi ia masih bisa menggeram marah. “La-lalu siapa
yang akan jadi raja? Kau? Ma-makhluk jahat sepertimu, burung hantu...”
“Lebih baik raja yang jahat daripada
raja yang bodoh. Dan kini aku bukan sekedar burung hantu lagi...aku kini adalah
sang Penguasa Malam.”
Di tengah gelap malam hutan rimba
tersebut, sebuah jeritan nyaring dari binatang yang tengah sekarat memecah
keheningan. Lalu, sunyi kembali tiba.
Sang raja telah mati.
Friday, July 5, 2013
On Friendzone & Painful Pseudo-Relationship: (500) Days of Summer
This post is not meant as a film
summary/review; it’s more like my commentary on a certain interesting aspect of a film and probably makes more sense to people who have also
watched the movie. Hence, lots of spoiler and not much synopsis. This time, it is
about (500) Days of Summer, a “romantic” US movie directed by Marc Webb in
2009.
Boy met Girl. Boy
fell for Girl. Girl did not want to have a relationship at the moment, but liked
Boy enough to hang up regularly with him. Boy and Girl became close friends. Boy believed
that Girl will eventually fall for him, that the friendship would develop into
a romantic one and they would live happily ever after. Boy was wrong.
(500) Days
of Summer is not the best relationship movie I’ve watched (I’ll give that
spot for Eternal Sunshine of Spotless
Mind, or the Before Sunrise/Before
Sunset dyad), and it is certainly not perfect. Supporting characters are
weak, and there are some parts I don’t like. Most of it though, is really good;
mostly because it shows something that feel real and genuine. Of course, this
is only a good thing if you like realistic movies; if you watch romantic movies
for the escapism and fairy-tale ending, stay very far away from this one.
This
is a story about Tom and Summer, two characters who feel like real people in
real life. Tom is naive and hopelessly in love with Summer, cool pretty girl
with super big eyes and non-mainstream sensibilities (*Ringo is her favorite
Beatle). Tom is a non-aggressive guy, the kind that likes to play it (very)
slow and does not have much relationship experience. When he does fall in love
though, he falls really hard. So hard that even though Summer already told him
she doesn’t want a serious relationship, he keeps expecting things will change
and grow, that she also loves him back, that happy ending is waiting for them
as long as he remains a nice guy and stay close with her. They’re eventually stuck
in this grey area; not just friends, but not quite lovers. Until Summer finally
grows apart from Tom, move on to find her true love, and left poor Tom heartbroken.
What
makes the film really works is how well it portrays Tom’s mindsets. During the
non-linear narrative showing parts of Tom’s 500-day long pseudo-relationship,
there is a couple of scenes showing the
same visual of Summer’s images, each at different periods of the timeline. The first is a madly-in-love Tom’s early
monologue on Summer (*gushing about how much he loves Summer, her teeth, the
way she laughs, etc.), and the second is an angry-and-heartbroken Tom later monologue (*ranting about how much he
hates Summer, her teeth, the way she laughs, etc.). Quite clever.
This
part here is even better, though:
What
happened in the split-screen image is a really funny (and painful) scene. Tom,
about to meet Summer again after a long while, visualized what will happen and
imagined a really special and meaningful reunion. What actually happened is
that Summer gave him a friendly greeting and...left him alone. He never meant
that much to her. This brutal ‘When Fantasy Crushed by Reality’ scene is
accompanied by Regina Spektor’s Hero on the background (no one’s got it all...no one’s got it all), and it’s brilliant.
Easily my favorite part of the film (Spektor contributed a couple of songs for
the film, and she is pretty great singer-songwriter).
Some
people complained that it focused too much on Tom, and not enough on Summer. It
makes Summer the villain, and the audience never really find out why the hell
she tortured poor Tom. I disagree, because I think I understand what’s up with Summer. She does not have any romantic interest in Tom, but
because he is a nice guy and good friend she hangs out with him. Classic “I don’t
want him as a lover, but I don’t want to lose him as a friend” female problem. When
she realizes that she may not be able to ever return Tom’s feelings, she pulls
away. Summer made a mistake, but Tom did as well. They both were being naive
and selfish, but it’s humane and understandable. It happened all the time to many
good guys and girls everywhere.
I
don’t really like the ending, I guess. I like the resolution when Tom finally let
Summer go and start to pursue his passion in architecture; that’s the ideal way
to move on. I don’t think having him meet a new girl in the job interview is
really necessary, but I do like how he approaches the girl in a more forward
and confident way that suggested he has learned valuable lesson from his
pseudo-relationship thing with Summer. Then, the girl revealed her name, and it’s
Autumn. Haha....no. Just no.
Anyway,
the tagline of (500) Days is “This Is Not A Love Story.” Kind of incomplete,
IMHO, it’s more like “This Is Not A Love Story That Ends The Way You Want.”
Because it IS a love story, an authentic and realistic one.
The
joy of being close friend with the one you love. The fear of direct rejection,
the desire to play it safe. The disappointment when the idealized concept in
your mind does not match with how the reality develops. The anger when your
love stops being the perfect creature that you used to think she is. And
finally, the crushing bitter realization that after all this time spent
together, she does not love you back the way you do.
I
knew and understood that feeling.
Subscribe to:
Posts (Atom)